Rabu, 21 Agustus 2013

Kerja dan Manusia Dalam terang Laborem Exercens



 Pengantar
Kerja merupakan sarana bagi setiap manusia agar mereka dapat melangsungkan hidup. Manusia mencari nafkah sehari-hari bagi dirinya dan juga untuk orang di sekitar mereka. Tidak hanya itu, dengan bekerja, secara tidak sadar, manusia juga turut serta dalam mendukung perkembangan kebudayaan, teknologi dan ilmu pengetahuan. Namun, dalam perkembangannya, kerja juga tidak mengalami kendala. Beberapa kasus telah menunjukkan bahwa kerja tidak lagi menjadi sarana manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Sebaliknya, kerja telah menjadi wadah untuk mengeksploitasi sumber daya manusia demi suatu tujuan tertentu yang mengabaikan nilai luhur manusia. Untuk itu, dalam paper ini, saya mencoba menggali makna dan hubungan kerja dengan manusia dalam terang ensiklik Laborem Exercens.

Kasus
            Pemilihan tema kerja ini juga terkait dengan sebuah artikel yang saya baca pada suatu situs. Artikel ini bercerita tentang seorang buruh outsourching. Judul artikel ini adalah “Sistem Outsourching itu Kurang Manusiawi, Ini Buktinya!!”. Berikut saya mencoba merangkum artikel yang saya temukan.
            Julie (nama disamarkan) adalah salah satu cleaning service, pendiam, manis dan masih berusia dibawah tiga puluh tahun. Dia menjadi salah satu pekerja perusahaan jasa outsourcing kebersihan yang di kontrak oleh perusahaannya sekarang. Suatu hari Julie tidak masuk kantor. Dari salah satu office girl diperoleh informasi bahwa ada dua kemungkinan Julie tidak datang ke kantor. Pertama, ada masalah dengan kereta api yang dinaikinya setiap hari. Rumah Julie terletak di daerah Citayam dan setiap hari dia menggunakan kereta api sebagai penumpang gelap. Kedua, tidak ada ongkos sepeserpun  untuk naik angkot dari stasiun Tebet menuju kantornya.
            Dari teman-temannya Julie, didapat sebuah jawaban bahwa pendapatan seorang cleaning service masih jauh dibawah UMR. Pendapatan pendapatan mereka  yaitu Rp 29.000,- sehari dari 25 hari kerja. Tentunya, jumlah ini tidaklah cukup untuk penghidupan selama sebulan. Padahal UMR untuk propinsi DKI tahun 2012 adalah Rp 1.529.150,_ perbulan sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan Gubernur provinsi DKI Jakarta dengan nomor 117 tahun 2011. Peraturan ini ditandatangani oleh Gubernur DKI tanggal 28 November 2011. Pada kenyataannya, gaji yang diterima Julie tidak sesuai dengan kontrak kerja yang disetujui olehnya. Pendapatan yang diterima Julie dari kantornya pun masih harus dipotong untuk membayar jasa perusahaan yang menyalurkan dirinya.
            Dalam kehidupan sehari-hari, Julie adalah tulang punggung keluarga dimana harus menghidupi dua orang anaknya yang duduk dibangku kelas tiga sekolah dasar dan satu lagi masih TK. Selain kedua anaknya, dia juga merawat ibu kandungnya yang sudah menjanda. Suaminya telah lama meninggalkan dia dan anak-anaknya. Kebutuhan minimal yang diperlukan Julie agar mampu bertahan selama satu bulan adalah satu juta rupiah. Untuk itu, dia mesti kerja lembur bahkan sampai tengah malam.
            Suatu hari Julie mengeluh dan ingin pulang lebih awal. Julie mendapat kabar bahwa anak anaknya belum makan sejak pagi hari karena tidak ada uang sama sekali untuk membeli beras. Akhirnya Julie meminjam uang kepada salah seorang temannya  untuk membeli beras beberapa liter dan baru dimasak tengah malam sesaat sampai di rumah karena harus kerja lembur. Alangkah senangnya anak anaknya dan terbagun dari tidurnya  dimalam hari ketika nasi matang sudah tersedia dan dengan lahapnya walaupun  tanpa lauk mereka tetap  menikmatinya.
            Julie memang selalu menahan lapar dan berkata sudah makan walaupun sering kali ditanya sudah makan atau belum. Tanpa sengaja, seorang karyawan mendapati Julie tengah menikmati makanan sisa (bubur ayam) yang tidak habis disantap oleh anak seorang karyawan yang sedang ikut bapaknya ke kantor, padahal kondisi bubur tersebut sudah tidak sempurna lagi.

Analisa Kasus
            Kisah di atas adalah salah satu contoh kisah yang temukan. Tentunya, masih banyak kisah serupa yang bisa ditemukan. Lebih dari itu, kisah-kisah ini merupakan tanda bahwa kisah ini sungguh nyata dialami oleh kaum buruh outsourching. Berdasarkan kisah tentang Julie ini, saya mencoba untuk menganalisa kehidupan dan kerja para kaum buruh outsourching.
            Pertama, gaji yang kecil. Dalam kisah Julie, upah kerja per hari yang didapatnya (Rp. 29.000) tentunya tidak sesuai dengan Upah Minimun Regional yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Jakarta. Jika dikalikan dengan dua puluh lima hari kerja, total pendapatannya hanya Rp. 725.000. Sedangkan, UMR untuk DKI Jakarta adalah Rp. 1.529.150 sesuai dengan peraturan Gubernur provinsi DKI Jakarta dengan No117 tahun 2011. Upah yang diterima Julie dari kantornya masih harus dipotong lagi untuk membayar jasa perusahaan yang menyalurkan dirinya. Dengan demikian, gaji bersih yang diterima Julie, tentunya, masih sangat jauh dibawah kelayakan dan ketentuan. Dalam situasi demikian, bagaimana ia mampu menghidupi diri dan keluarganya?
            Kedua, keterikatan buruh dengan perusahaan penyalur. Sebagai seorang tenaga kerja, Julie memang secara fisik bekerja di kantornya. Namun, pada kenyataannya, dia bekerja bagi perusahaan penyalur jasa bagi dirinya. Kontrak kerja untuk Julie dibuat antara perusahaan penyalur jasa dengan kantor yang mempekerjakan Julie. Oleh karena itu, setiap bulannya, Julie masih harus menyisihkan gajinya untuk perusahaan penyalur jasa tersebut. Dalam persoalan ini, Julie tidak lagi dipandang sebagai seorang indvidu yang bebas dan berhak atas kelayakan hidupnya. Julie hanyalah sebuah instrumen atau sarana untuk memenuhi kebutuhan perusahaan.
            Ketiga, posisi kaum buruh yang lemah. Buruh Outsourching selalu berada dalam posisi lemah. Mereka tidak punya kekuatan untuk mengajukan suatu protes kepada pihak kantor dimana mereka bekerja. Hubungannya adalah kaum buruh dengan pihak perusahaan penyalur jasa karena kontrak kerja dilakukan oleh pihak kantor dan pihak perusahaan penyalur jasa. Buruh tidak bisa menentukan dirinya. Bila kantor yang mempekerjakan menyatakan tidak memerlukan jasa atau tenaga buruh, mereka dapat langsung dikembalikan pada pihak perusahaan penyalur jasa. Dalam posisi ini, para buruh outsourching tidak memiliki jaminan masa depan. Mereka hanya menunggu panggilan untuk bekerja. Mereka menunggu untuk ditempatkan pada pihak kantor yang sudah mengontrak jasanya pada perusahaan penyalur jasa.
            Keempat, tidak memiliki perlindungan hukum. Republik Indonesia menyatakan Pasal 27 UUD 1945 ayat 2 bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Namun, kenyataannya, penduduk Indonesia masih banyak yang belum mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Praktek buruh outsourching mendapatkan legalitanya dalam UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pasal 64 menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dari pernyataan tersebut, nasib kaum buruh outsourching jelas sekali ditentukan oleh kontrak antara kantor yang mempekerjakan dan perusahaan penyalur jasa. Dengan demikian, hukum dengan sendirinya tidak melindungi kaum buruh bahkan menyetujuinya. Lalu, apakah hukum tidak lagi menjamin kehidupan masyarakat sehingga bisa hidup layak?
            Dari kasus dan analisa ini, kita menemukan bahwa kerja sebagai buruh outsourching sungguh tidak menjamin hidup manusia. Manusia hanya dipandang sebagai alat yang dapat memenuhi kepentingan beberapa pihak semata. Status kemanusiaan manusia tidak lagi diperhitungkan sehingga eksistensi manusia hanya sebagai sarana pemenuhan target perusahaan-perusahaan yang melakukan kontrak atas dirinya. Dengan demikian, kerja yang dilakukan manusia sungguh tidak mendukung kehidupan manusia. Kerja tidak lagi menjadi tempat bagi manusia untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Untuk itu, saya mencoba menggali makna kerja dalam pandangan Gereja. Tentang kerja ini, saya mencoba melihatnya dalam terang ensiklik Laborem Exercens.

Pandangan Gereja
            Kerja merupakan aspek yang mendasar dalam hidup manusia dan wajib dijalankan manusia selama kehidupannya di dunia ini[1]. Tentunya, dengan bekerja, manusia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Selain itu, kerja juga sesuai dengan martabat manusia. Gereja berpandangan bahwa kerja merupakan sesuatu yang berharga bagi manusia. Menurut refleksi Gereja atas kitab kejadian, manusia diciptakan sesuai dengan citra Allah dan dipanggil untuk berpartisipasi dalam kegiatan Allah,[2] yaitu untuk menguasai bumi.
            Pesan “berkembang biaklah serta penuhi dan taklukanlah bumi” memang secara tidak eksplisit menyebutkan kerja manusia. Namun, kutipan ini dijadikan dasar bahwa kerja adalah kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh manusia. Laborem Exercens menekankan kerja sebagai kegiatan ”transitif”. Kerja dimaknai sebagai sesuatu yang bermula pada pelaku manusiawi dan ditujukan pada sasaran diluar dirinya, mengandaikan kedaulatan khas manusia atas bumi. Manusia adalah pelaku utama kerja.
            Ungkapan ”menaklukan bumi” kadang masih salah untuk dimengerti. Ungkapan ini dijadikan alasan manusia untuk mengeksploitasi bumi. Namun, LE mengungkapkan bahwa ”menaklukan bumi” berarti bahwa segala sumber daya yang terkandung di bumi dan yang berkat kesadaran manusia dapat digali dan dimanfaatkan untuk tujuannya. Dengan demikian, manusia bekerja untuk mengolah sumber daya yang tersedia di bumi dengan kesadarannya demi tujuan yang tepat dan luhur.
           
Kerja, Jerih Payah dan Martabat Manusia
            Hubungan kerja dan manusia tidak bisa dipisahkan dari martabat manusia. Manusia sebagai subyek pelaku kerja memiliki kemampuan hakiki untuk menentukan keputusan atas dirinya. Manusia punya kesempatan untuk mencipta sesuatu sesuai dengan kemampuan dirinya. Lewat kerja, manusia mendapatkan tempat dan sarana untuk mewujudkan dan mengaktualisasikan dirinya. Dengan demikian, dalam kerja, martabat manusia menjadi tampak jelas.
            Terkadang, aktualisasi diri manusia ini berbenturan dengan gambaran jerih payah yang dialami manusia dalam kerja. Jerih payah dipandang sebagai hambatan bagi manusia untuk mengaktualisasikan diri. Kitab Kejadian dengan jelas menyatakan bahwa manusia akan bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jerih payah ini akan menyertai manusia dalam usaha pencapaian tujuan hidupnya dan siapa pun akan mengalami hal ini dalam kerja. LE art 9 merefleksikan bahwa jerih payah merupakan pengalaman harian bagi semua pekerja dan karena kerja merupakan panggilan bagi semua orang, banyak dirasakan oleh siapa pun juga.
            Namun, kita perlu menyari bahwa jerih payah bukanlah suatu yang negatif. Artinya, jerih payah itu buruk karena mempersulit hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan. Dalam kerja, jerih payah tidak menghilangkan makna kerja yang baik. Kerja yang baik tidak hanya berarti bahwa kerja itu bermanfaat atau menyenangkan tetapi kerja dilihat sebagai sesuatu yang layak bagi manusia untuk mengungkapkan dan meningkatkan martabat manusia. Melalui kerja, manusia tidak hanya mengeksploitasi sumber daya yang ada, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk kepentingan tujuan dirinya. Kerja justru menjadi sarana manusia agar menjadi tampak lebih manusiawi.

Kerja: Manusia Sebagai Rekan Kerja Allah
           

Kesimpulan
            Masalah utama dalam dunia kerja sekarang ini adalah merosotnya sisi kemanusiaan para pekerja. Para pekerja ditempatkan sebagai sarana. Dalam kasus di atas, sisi kemanusiaan dan martabat Julie tidak lagi diperhitungkan. Dia hanyalah manusia yang bekerja di bawa kontrak dua perusahaan yang mengikat dirinya. Para buruh outsourching tidak memiliki kebebasan untuk menentukan kerja yang sesuai dengan dirinya. Tidak hanya itu, mereka tidak memiliki suatu jaminan akan kelayakan hidup di masa depan. Martabat para buruh outsourching direduksi sebagai alat produki semata. Mereka adalah sumber daya manusia yang selalu siap untuk dieksploitasi untuk kepentingan tertentu.
            Kenyataan ini sungguh bertentangan dengan pandangan Gereja terhadap kerja itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Gereja memandang kerja sebagai dimensi hakiki manusia. Manusia adalah citra Allah yang bertindak sebagai subyek kerja. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lebih dari itu, Gereja memandang kerja sebagai wujud konkret martabat manusia. Kerja menjadi sarana manusia untuk mengaktualisasikan diri.
            Berhadapan dengan tantangan ini, Gereja mengecam segala bentuk pelanggaran hak yang dialami oleh para pekerja, secara khusus buruh outsourching. Untuk itu, Gereja memberikan tanggapan terhadap kemerosotan martabat manusia dalam dunia kerja.
  1. upah yang adil
  2. solidaritas pekerja dan serikat buruh
  3. pelatihan dan pendampingan bagi kaum buruh


[1] Bdk. LE art 4, 2
[2] Bdk. LE art 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar