Pengantar
Kerja merupakan sarana bagi setiap
manusia agar mereka dapat melangsungkan hidup. Manusia mencari nafkah
sehari-hari bagi dirinya dan juga untuk orang di sekitar mereka. Tidak hanya
itu, dengan bekerja, secara tidak sadar, manusia juga turut serta dalam mendukung
perkembangan kebudayaan, teknologi dan ilmu pengetahuan. Namun, dalam
perkembangannya, kerja juga tidak mengalami kendala. Beberapa kasus telah
menunjukkan bahwa kerja tidak lagi menjadi sarana manusia untuk
mengaktualisasikan dirinya. Sebaliknya, kerja telah menjadi wadah untuk
mengeksploitasi sumber daya manusia demi suatu tujuan tertentu yang mengabaikan
nilai luhur manusia. Untuk itu, dalam paper ini, saya mencoba menggali makna
dan hubungan kerja dengan manusia dalam terang ensiklik Laborem Exercens.
Kasus
Pemilihan
tema kerja ini juga terkait dengan sebuah artikel yang saya baca pada suatu
situs. Artikel ini bercerita tentang seorang buruh outsourching. Judul artikel
ini adalah “Sistem Outsourching itu Kurang Manusiawi, Ini Buktinya!!”. Berikut
saya mencoba merangkum artikel yang saya temukan.
Julie
(nama disamarkan) adalah salah satu cleaning service, pendiam, manis dan masih
berusia dibawah tiga puluh tahun. Dia menjadi salah satu pekerja perusahaan
jasa outsourcing kebersihan yang di kontrak oleh perusahaannya sekarang. Suatu
hari Julie tidak masuk kantor. Dari salah satu office girl diperoleh informasi bahwa
ada dua kemungkinan Julie tidak datang ke kantor. Pertama, ada masalah dengan
kereta api yang dinaikinya setiap hari. Rumah Julie terletak di daerah Citayam
dan setiap hari dia menggunakan kereta api sebagai penumpang gelap. Kedua,
tidak ada ongkos sepeserpun untuk naik angkot dari stasiun Tebet menuju
kantornya.
Dari
teman-temannya Julie, didapat sebuah jawaban bahwa pendapatan seorang cleaning
service masih jauh dibawah UMR. Pendapatan pendapatan mereka yaitu Rp 29.000,- sehari dari 25 hari kerja. Tentunya,
jumlah ini tidaklah cukup untuk penghidupan selama sebulan. Padahal UMR untuk
propinsi DKI tahun 2012 adalah Rp 1.529.150,_ perbulan sebagaimana telah ditetapkan
dalam peraturan Gubernur provinsi DKI Jakarta dengan nomor 117 tahun 2011. Peraturan
ini ditandatangani oleh Gubernur DKI tanggal 28 November 2011. Pada
kenyataannya, gaji yang diterima Julie tidak sesuai dengan kontrak kerja yang
disetujui olehnya. Pendapatan yang diterima Julie dari kantornya pun masih
harus dipotong untuk membayar jasa perusahaan yang menyalurkan dirinya.
Dalam
kehidupan sehari-hari, Julie adalah tulang punggung keluarga dimana harus
menghidupi dua orang anaknya yang duduk dibangku kelas tiga sekolah dasar dan
satu lagi masih TK. Selain kedua anaknya, dia juga merawat ibu kandungnya yang
sudah menjanda. Suaminya telah lama meninggalkan dia dan anak-anaknya.
Kebutuhan minimal yang diperlukan Julie agar mampu bertahan selama satu bulan
adalah satu juta rupiah. Untuk itu, dia mesti kerja lembur bahkan sampai tengah
malam.
Suatu
hari Julie mengeluh dan ingin pulang lebih awal. Julie mendapat kabar bahwa
anak anaknya belum makan sejak pagi hari karena tidak ada uang sama sekali
untuk membeli beras. Akhirnya Julie meminjam uang kepada salah seorang temannya
untuk membeli beras beberapa liter dan baru dimasak tengah malam sesaat
sampai di rumah karena harus kerja lembur. Alangkah senangnya anak anaknya
dan terbagun dari tidurnya dimalam hari ketika nasi matang sudah tersedia
dan dengan lahapnya walaupun tanpa lauk mereka tetap menikmatinya.
Julie
memang selalu menahan lapar dan berkata sudah makan walaupun sering kali
ditanya sudah makan atau belum. Tanpa sengaja, seorang karyawan mendapati
Julie tengah menikmati makanan sisa (bubur ayam) yang tidak habis disantap oleh
anak seorang karyawan yang sedang ikut bapaknya ke kantor, padahal kondisi
bubur tersebut sudah tidak sempurna lagi.
Analisa Kasus
Kisah
di atas adalah salah satu contoh kisah yang temukan. Tentunya, masih banyak
kisah serupa yang bisa ditemukan. Lebih dari itu, kisah-kisah ini merupakan
tanda bahwa kisah ini sungguh nyata dialami oleh kaum buruh outsourching. Berdasarkan
kisah tentang Julie ini, saya mencoba untuk menganalisa kehidupan dan kerja
para kaum buruh outsourching.
Pertama,
gaji yang kecil. Dalam kisah Julie, upah kerja per hari yang didapatnya (Rp.
29.000) tentunya tidak sesuai dengan Upah Minimun Regional yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Jakarta. Jika dikalikan dengan dua puluh lima
hari kerja, total pendapatannya hanya Rp. 725.000. Sedangkan, UMR untuk DKI
Jakarta adalah Rp. 1.529.150 sesuai dengan peraturan Gubernur provinsi DKI
Jakarta dengan No117 tahun 2011. Upah yang diterima Julie dari kantornya masih
harus dipotong lagi untuk membayar jasa perusahaan yang menyalurkan dirinya. Dengan
demikian, gaji bersih yang diterima Julie, tentunya, masih sangat jauh dibawah
kelayakan dan ketentuan. Dalam situasi demikian, bagaimana ia mampu menghidupi
diri dan keluarganya?
Kedua,
keterikatan buruh dengan perusahaan penyalur. Sebagai seorang tenaga kerja,
Julie memang secara fisik bekerja di kantornya. Namun, pada kenyataannya, dia
bekerja bagi perusahaan penyalur jasa bagi dirinya. Kontrak kerja untuk Julie
dibuat antara perusahaan penyalur jasa dengan kantor yang mempekerjakan Julie.
Oleh karena itu, setiap bulannya, Julie masih harus menyisihkan gajinya untuk
perusahaan penyalur jasa tersebut. Dalam persoalan ini, Julie tidak lagi
dipandang sebagai seorang indvidu yang bebas dan berhak atas kelayakan
hidupnya. Julie hanyalah sebuah instrumen atau sarana untuk memenuhi kebutuhan
perusahaan.
Ketiga,
posisi kaum buruh yang lemah. Buruh Outsourching selalu berada dalam posisi
lemah. Mereka tidak punya kekuatan untuk mengajukan suatu protes kepada pihak
kantor dimana mereka bekerja. Hubungannya adalah kaum buruh dengan pihak
perusahaan penyalur jasa karena kontrak kerja dilakukan oleh pihak kantor dan
pihak perusahaan penyalur jasa. Buruh tidak bisa menentukan dirinya. Bila
kantor yang mempekerjakan menyatakan tidak memerlukan jasa atau tenaga buruh,
mereka dapat langsung dikembalikan pada pihak perusahaan penyalur jasa. Dalam
posisi ini, para buruh outsourching tidak memiliki jaminan masa depan. Mereka
hanya menunggu panggilan untuk bekerja. Mereka menunggu untuk ditempatkan pada
pihak kantor yang sudah mengontrak jasanya pada perusahaan penyalur jasa.
Keempat,
tidak memiliki perlindungan hukum. Republik Indonesia menyatakan Pasal 27 UUD
1945 ayat 2 bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”. Namun, kenyataannya, penduduk Indonesia masih
banyak yang belum mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Praktek
buruh outsourching mendapatkan legalitanya dalam UU No 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan. Pasal 64 menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Dari pernyataan tersebut, nasib kaum buruh outsourching jelas sekali ditentukan
oleh kontrak antara kantor yang mempekerjakan dan perusahaan penyalur jasa.
Dengan demikian, hukum dengan sendirinya tidak melindungi kaum buruh bahkan
menyetujuinya. Lalu, apakah hukum tidak lagi menjamin kehidupan masyarakat
sehingga bisa hidup layak?
Dari
kasus dan analisa ini, kita menemukan bahwa kerja sebagai buruh outsourching
sungguh tidak menjamin hidup manusia. Manusia hanya dipandang sebagai alat yang
dapat memenuhi kepentingan beberapa pihak semata. Status kemanusiaan manusia
tidak lagi diperhitungkan sehingga eksistensi manusia hanya sebagai sarana
pemenuhan target perusahaan-perusahaan yang melakukan kontrak atas dirinya. Dengan
demikian, kerja yang dilakukan manusia sungguh tidak mendukung kehidupan
manusia. Kerja tidak lagi menjadi tempat bagi manusia untuk menunjukkan
eksistensi dirinya. Untuk itu, saya mencoba menggali makna kerja dalam
pandangan Gereja. Tentang kerja ini, saya mencoba melihatnya dalam terang
ensiklik Laborem Exercens.
Pandangan Gereja
Kerja
merupakan aspek yang mendasar dalam hidup manusia dan wajib dijalankan manusia
selama kehidupannya di dunia ini[1].
Tentunya, dengan bekerja, manusia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Selain itu, kerja juga sesuai dengan martabat manusia. Gereja
berpandangan bahwa kerja merupakan sesuatu yang berharga bagi manusia. Menurut
refleksi Gereja atas kitab kejadian, manusia diciptakan sesuai dengan citra
Allah dan dipanggil untuk berpartisipasi dalam kegiatan Allah,[2]
yaitu untuk menguasai bumi.
Pesan
“berkembang biaklah serta penuhi dan taklukanlah bumi” memang secara tidak
eksplisit menyebutkan kerja manusia. Namun, kutipan ini dijadikan dasar bahwa
kerja adalah kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh manusia. Laborem Exercens menekankan kerja sebagai
kegiatan ”transitif”. Kerja dimaknai sebagai sesuatu yang bermula pada pelaku
manusiawi dan ditujukan pada sasaran diluar dirinya, mengandaikan kedaulatan
khas manusia atas bumi. Manusia adalah pelaku utama kerja.
Ungkapan ”menaklukan bumi”
kadang masih salah untuk dimengerti. Ungkapan ini dijadikan alasan manusia
untuk mengeksploitasi bumi. Namun, LE mengungkapkan bahwa ”menaklukan bumi”
berarti bahwa segala sumber daya yang terkandung di bumi dan yang berkat
kesadaran manusia dapat digali dan dimanfaatkan untuk tujuannya. Dengan
demikian, manusia bekerja untuk mengolah sumber daya yang tersedia di bumi
dengan kesadarannya demi tujuan yang tepat dan luhur.
Kerja, Jerih Payah dan Martabat Manusia
Hubungan kerja dan manusia
tidak bisa dipisahkan dari martabat manusia. Manusia sebagai subyek pelaku
kerja memiliki kemampuan hakiki untuk menentukan keputusan atas dirinya.
Manusia punya kesempatan untuk mencipta sesuatu sesuai dengan kemampuan
dirinya. Lewat kerja, manusia mendapatkan tempat dan sarana untuk mewujudkan
dan mengaktualisasikan dirinya. Dengan demikian, dalam kerja, martabat manusia
menjadi tampak jelas.
Terkadang, aktualisasi
diri manusia ini berbenturan dengan gambaran jerih payah yang dialami manusia
dalam kerja. Jerih payah dipandang sebagai hambatan bagi manusia untuk
mengaktualisasikan diri. Kitab Kejadian dengan jelas menyatakan bahwa manusia
akan bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jerih payah ini akan
menyertai manusia dalam usaha pencapaian tujuan hidupnya dan siapa pun akan
mengalami hal ini dalam kerja. LE art 9 merefleksikan bahwa jerih payah
merupakan pengalaman harian bagi semua pekerja dan karena kerja merupakan
panggilan bagi semua orang, banyak dirasakan oleh siapa pun juga.
Namun, kita perlu menyari
bahwa jerih payah bukanlah suatu yang negatif. Artinya, jerih payah itu buruk
karena mempersulit hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan. Dalam kerja, jerih
payah tidak menghilangkan makna kerja yang baik. Kerja yang baik tidak hanya
berarti bahwa kerja itu bermanfaat atau menyenangkan tetapi kerja dilihat
sebagai sesuatu yang layak bagi manusia untuk mengungkapkan dan meningkatkan
martabat manusia. Melalui kerja, manusia tidak hanya mengeksploitasi sumber
daya yang ada, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk
kepentingan tujuan dirinya. Kerja justru menjadi sarana manusia agar menjadi
tampak lebih manusiawi.
Kerja: Manusia Sebagai Rekan Kerja Allah
Kesimpulan
Masalah utama dalam dunia
kerja sekarang ini adalah merosotnya sisi kemanusiaan para pekerja. Para
pekerja ditempatkan sebagai sarana. Dalam kasus di atas, sisi kemanusiaan dan
martabat Julie tidak lagi diperhitungkan. Dia hanyalah manusia yang bekerja di
bawa kontrak dua perusahaan yang mengikat dirinya. Para buruh outsourching
tidak memiliki kebebasan untuk menentukan kerja yang sesuai dengan dirinya.
Tidak hanya itu, mereka tidak memiliki suatu jaminan akan kelayakan hidup di
masa depan. Martabat para buruh outsourching direduksi sebagai alat produki
semata. Mereka adalah sumber daya manusia yang selalu siap untuk dieksploitasi
untuk kepentingan tertentu.
Kenyataan ini sungguh
bertentangan dengan pandangan Gereja terhadap kerja itu sendiri. Sebagaimana
telah dijelaskan diatas bahwa Gereja memandang kerja sebagai dimensi hakiki
manusia. Manusia adalah citra Allah yang bertindak sebagai subyek kerja.
Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lebih dari itu,
Gereja memandang kerja sebagai wujud konkret martabat manusia. Kerja menjadi
sarana manusia untuk mengaktualisasikan diri.
Berhadapan dengan
tantangan ini, Gereja mengecam segala bentuk pelanggaran hak yang dialami oleh
para pekerja, secara khusus buruh outsourching. Untuk itu, Gereja memberikan
tanggapan terhadap kemerosotan martabat manusia dalam dunia kerja.
- upah yang adil
- solidaritas pekerja dan serikat buruh
- pelatihan dan pendampingan bagi kaum buruh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar