Dalam keramaian aku
terhempas dari diriku…
Dalam kesendirian aku
berkelana menelusuri diriku…
Dalam keduanya aku belajar
berjalan…seperti seorang balita
Dalam Engkau aku ditangkap
dan dirangkul penuh kasih…
Namanya
Dia. Kau tidak akan pernah mengetahui bagaimana aku dan Dia bisa bersama. Entah
bagaimana pertemuanku dengan diri-Nya. Begitu mesra dalam rangkulan tangan,
hangat dalam pelukan dan mekar dalam persemaian. Dan, kali ini Dia perlahan
menunjukkan padaku kasih yang tak mungkin terungkap satu kali, dua kali, tiga
kali, bahkan seribu kali pun tak akan mampu merangkum kucuran air kasih dari
keran kasih. Karena aku manusia, aku terbatas dan aku jauh dari sempurna,
bahkan untuk menerima kasih itu. Justru ketika kasih itu mulai melingkupiku,
aku menolaknya dengan selimut rasioku.
Terhempas
jauh dari kota kelahiranku. Terlempar dari budaya kampung halamanku. Terjerumus
ke dalam palung hidup yang tak pernah diimpikan. Tak pernah terbayangkan dalam
benakku, sebuah ketakutan dan kecemasan untuk memelihara benih-benih Tuhan. Tak
pernah diinginkan, sebuah vas sederhana untuk meletakkan satu per satu
benih-benih tersebut. Mengapa harus aku yang dipilih? Mengapa harus aku yang
menjalani? Dan mengapa harus aku yang merawat, memelihara, menyirami,
menyiangi, memangkas dan mencintai benih-benih yang telah Kau tabur?
Tanyakan
pada air mata, dia tahu sepenuhnya ketakutan dan kecemasan. Tanyakan pada
waktu, dia tahu bagaimana cara bodohku untuk menghentikannya. Tanyakan pada
hati, dia tahu seutuhnya bagaimana aku bertelut dan tersungkur karena tak tahu
harus berbuat apa. Tanyakan pada gerbang, pohon serta rumput yang aku lewati
kala itu, pagi itu, mereka mungkin tertegun melihat seorang balita dituntun
oleh tangan kasih, padahal balita itu baru saja belajar berdiri. Kuatkah balita
itu berdiri?
Sekian
waktu berlalu. Dengarkan kumandang serigala menghantuinya. Kisah nan menakutkan
mulai menggerogoti kerapuhan hati. Mencoba bertahan dan tinggal di tengah
benih-benih ilahi. Tidak ada jalan lain. Ya…hadir dan menjadi sesuatu yang bisa
dipegang, dilihat, diteladani. Sekuat itukah sang balita? Kakinya rapuh.
Tangannya lemah. Pikirannya sederhana. Hatinya bergelut hari lalu, hari ini dan
hari selanjutnya.
Benih
itu indah. Benih itu unik. Benih itu berkarakter.
Benih
itu rapuh. Benih itu takut. Benih itu tumbuh.
Benih
itu muda. Benih itu berkembang.
Yang
penting bagiku.....benih itu milik yang Ilahi.
Yang
Ilahi menitipkan mereka. Yang Ilahi percaya. Yang Ilahi sangat tahu kepada
siapa benih-benih ilahi ini akan tumbuh, berkembang, berbunga dan berkembang.
“masih terus bertumbuh, masih terus berjuang. Perjalanan menjadi pohon yang
kuat masih berliku untuk dilalui. Kerap enggan untuk bertumbuh dan berkembang.
Ya…benih-benih yakin akan masa depan yang tepat, tumbuh dalam jalan yang telah
ditetapkan kepada mereka oleh sang Petani Agung”
Sirami
mereka. Rawatlah mereka….kini mereka siap untuk bertumbuh dan berkembang.
Suburkanlah
mereka dalam pot kasih Ilahi, karena Yang Ilahi adalah Petani sesungguhnya.
Sang
balita belajar…perlahan…bahkan ia terjatuh. Karena, ia tumbuh dan berkembang,
kuat dan melangkah dalam kerapuhan. Balita tak akan pernah kuat kalau tidak
pernah menjadi rapuh dan terjatuh. Begitu pula sang benih-benih ilahi. Mereka
tak akan pernah kuat kalau tidak pernah mengalami badai teguran, angin hukuman,
hama kemalasan, tapi juga dirangkul dalam tangan kasih penuh mesra dan lembut.
Selamat
datang padang kehidupan….
Suatu
padang dengan segala kelebihan dan kekurangan….
Suatu
padang dengan kekuatan dan kerapuhan…..
Suatu
padang dengan bunga dan buah….karena dalam kasih
Mertoyudan,
21 Agustus 2013
Ambrosius
Lolong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar