Kamis, 21 Maret 2013

Hubungan antar Subjek



Hubungan Antarsubjektivitas

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia berhubungan dengan orang lain. Beberapa filsuf mencoba melihat hubungan ini dalam berbagai pandangan. Mereka melihat pentingnya relasi manusia dengan yang lain sebagai hubungan antar manusia sebagai subjek. Berikut adalah hubungan antar subjek dari kacamata dua orang filsuf.
a.       Martin Buber
Fokus pemikiran Buber dan pesan utama filsafatnya adalah struktur diagonal dan antar personal. Dia menolak untuk mereduksi manusia ada satu dimensi saja. Manusia juga memiliki corak hubungan dengan manusia lain. Dalam tesis fundamentalnya, buber berpandangan bahwa hubungan Andan bukanlah hubungan di antara berbagai hubungan, tetapi hubungan utama, fakte primer setiap antropologi dan filsafat. Dua pokok pemikirannya adalah I-it dan I-Thou untuk menjelaskan tesisnya.
I-it adalah hubungan antara tuan-budak. Hubungan antara manusia-benda ini dikuasai oleh kehendak menguasai dunia. Di sini, semua tidak terlibat. Hanya sebagian saja yang terlibat dalam hubungan ini karena sifat yang satu adalah ingin menguasai dan yang lain hanya bisa menerima. Hubungan ini bisa digambarkan sebagai hubungan subjek-objek, bahwa subjek melakukan kegiatan dan objek menerima perlakuan tersebut. Pengetahuan yang diterima oleh subjek difungsikan untuk menggunakan objek.

I-Thou adalah hubungan antara Aku-Anda. Hubungan ini tidak pernah diawali dengan sebuah konflik karena hubungan ini adalah hubungan yang setara dan timbal balik yang sempurna. Dalam perjumpaan, manusia secara otentik menjadi aku dan yang lain menjadi Anda. Hubungan ini ditandai dengan sifatnya yang terbuka. Selain itu, hubungan ini memiliki resiko yang besar karena sifatnya yang total dan terbuka. Resikonya terletak pada kebebasan “yang lain” untuk menanggapi Aku. Thou (Anda) adalah sebuah misteri yang sulit untuk diungkapkan. Orang tidak bisa menggunakan Anda apalagi sebagai objek. Anda tidak pernah bisa dimengerti secara utuh. Thou yang misteri itu bisa menjadi refleksi hubungan ilahi.
Kekurangan Buber terletak pada penekanan pada hubungan antar personal. Buber kurang menyadari dan mengangkat hubungan manusia dengan dunia.

b.      Emanuel Levinas
Levinas mengkritik “egologia” yang didasarkan pada “cogito” Descartes. Pada tataran pengetahuan, dia berpandangan bahwa ego mereduksi semua pada totalitas dan mengeliminir perbedaan. Di sini, ego berusaha merangkum semua realitas dalam satu pandangan sehingga perbedaan yang sungguh ada menjadi semakin hilang. Pada tataran etis, dia berpendapat bahwa rasio manusia selalu menilai segalanya sehingga manusia menjadi penentu hukum dirinya. Dengan demikian, manusia bisa jadi mencapai tujuannya dengan menggunakan orang lain sebagai sarana atau, dengan kata lain, mengorbankan orang lain.
Pada tataran metafisika dan religius, Levinas berpendapat bahwa pengabaian terhadap perjumpaan dengan orang lain menjadikan manusia tertutup dalam sejarah. Hal ini dapat menyebabkan manusia menjadi tertutup terhadap transendensi Allah sehingga berpotensi menjadi seorang atheis. Pada tataran sosial dan politik, penegasan ego bisa memunculkan imperialisme. Dengan ego, manusia berusaha mempertahankan kekuasaannya dan memperbudak orang lain. Sehingga pada akhirnya, egologia ini hanya menempatkan totalitas pada satu pusat yang setiap kali mengabaikan aspek lainnya dan mengorbankan yang lain pada sistem.
Levinas juga memberikan penegasan akan “yang lain” sebagai paling utama. Pengutamaan terhadap “yang lain” dilukiskan dengan “epifani wajah”. Epifani ini sendiri memiliki tiga makna. Pertama, epifani wajah menunjukkan keberlainan manusia. Kedua, epifani wajah ini merupakan bentuk yang memanifestasikan atau mengungkapkan diri. Ketiga, epifani wajah membuktikan kehadiran “yang lain”.
Di sini, “yang lain” bukanlah suatu formulasi biasa tetapi menjadi sesuatu yang luar biasa. “Yang lain” menembus eksistensi karena kehadiran dirinya yang tidak terbantahkan. Dia hadir sebagai sungguh-sungguh “yang lain” yaitu sebagai sesuatu yang ada yang sama sekali tidak ditentukan oleh rasio saya. Dengan demikian, aku mengakui kehadirannya. Kepastian terhadap “yang lain” tidak lepas dari hal konkrit ang ada di dunia. Oleh sebab itu, manusia terkait dengan dimensi etika. Manusia juga mengharapkan menjadi “seseorang” dihadapan orang lain karena dia ingin dilakukan seperti “yang lain”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar