Hubungan Antarsubjektivitas
Dalam kehidupan sehari-hari,
manusia berhubungan dengan orang lain. Beberapa filsuf mencoba melihat hubungan
ini dalam berbagai pandangan. Mereka melihat pentingnya relasi manusia dengan
yang lain sebagai hubungan antar manusia sebagai subjek. Berikut adalah
hubungan antar subjek dari kacamata dua orang filsuf.
a.
Martin Buber
Fokus
pemikiran Buber dan pesan utama filsafatnya adalah struktur diagonal dan antar
personal. Dia menolak untuk mereduksi manusia ada satu dimensi saja. Manusia
juga memiliki corak hubungan dengan manusia lain. Dalam tesis fundamentalnya,
buber berpandangan bahwa hubungan Andan bukanlah hubungan di antara berbagai
hubungan, tetapi hubungan utama, fakte primer setiap antropologi dan filsafat.
Dua pokok pemikirannya adalah I-it
dan I-Thou untuk menjelaskan
tesisnya.
I-it adalah hubungan antara tuan-budak. Hubungan antara
manusia-benda ini dikuasai oleh kehendak menguasai dunia. Di sini, semua tidak
terlibat. Hanya sebagian saja yang terlibat dalam hubungan ini karena sifat
yang satu adalah ingin menguasai dan yang lain hanya bisa menerima. Hubungan
ini bisa digambarkan sebagai hubungan subjek-objek, bahwa subjek melakukan
kegiatan dan objek menerima perlakuan tersebut. Pengetahuan yang diterima oleh
subjek difungsikan untuk menggunakan objek.
I-Thou adalah hubungan antara Aku-Anda. Hubungan ini tidak pernah
diawali dengan sebuah konflik karena hubungan ini adalah hubungan yang setara
dan timbal balik yang sempurna. Dalam perjumpaan, manusia secara otentik menjadi
aku dan yang lain menjadi Anda. Hubungan ini ditandai dengan sifatnya yang
terbuka. Selain itu, hubungan ini memiliki resiko yang besar karena sifatnya
yang total dan terbuka. Resikonya terletak pada kebebasan “yang lain” untuk
menanggapi Aku. Thou (Anda) adalah
sebuah misteri yang sulit untuk diungkapkan. Orang tidak bisa menggunakan Anda
apalagi sebagai objek. Anda tidak pernah bisa dimengerti secara utuh. Thou yang misteri itu bisa menjadi
refleksi hubungan ilahi.
Kekurangan
Buber terletak pada penekanan pada hubungan antar personal. Buber kurang
menyadari dan mengangkat hubungan manusia dengan dunia.
b.
Emanuel Levinas
Levinas
mengkritik “egologia” yang didasarkan pada “cogito” Descartes. Pada tataran
pengetahuan, dia berpandangan bahwa ego mereduksi semua pada totalitas dan
mengeliminir perbedaan. Di sini, ego berusaha merangkum semua realitas dalam
satu pandangan sehingga perbedaan yang sungguh ada menjadi semakin hilang. Pada
tataran etis, dia berpendapat bahwa rasio manusia selalu menilai segalanya
sehingga manusia menjadi penentu hukum dirinya. Dengan demikian, manusia bisa
jadi mencapai tujuannya dengan menggunakan orang lain sebagai sarana atau,
dengan kata lain, mengorbankan orang lain.
Pada
tataran metafisika dan religius, Levinas berpendapat bahwa pengabaian terhadap
perjumpaan dengan orang lain menjadikan manusia tertutup dalam sejarah. Hal ini
dapat menyebabkan manusia menjadi tertutup terhadap transendensi Allah sehingga
berpotensi menjadi seorang atheis. Pada tataran sosial dan politik, penegasan
ego bisa memunculkan imperialisme. Dengan ego, manusia berusaha mempertahankan
kekuasaannya dan memperbudak orang lain. Sehingga pada akhirnya, egologia ini
hanya menempatkan totalitas pada satu pusat yang setiap kali mengabaikan aspek
lainnya dan mengorbankan yang lain pada sistem.
Levinas
juga memberikan penegasan akan “yang lain” sebagai paling utama. Pengutamaan
terhadap “yang lain” dilukiskan dengan “epifani wajah”. Epifani ini sendiri
memiliki tiga makna. Pertama, epifani wajah menunjukkan keberlainan manusia.
Kedua, epifani wajah ini merupakan bentuk yang memanifestasikan atau
mengungkapkan diri. Ketiga, epifani wajah membuktikan kehadiran “yang lain”.
Di sini,
“yang lain” bukanlah suatu formulasi biasa tetapi menjadi sesuatu yang luar
biasa. “Yang lain” menembus eksistensi karena kehadiran dirinya yang tidak
terbantahkan. Dia hadir sebagai sungguh-sungguh “yang lain” yaitu sebagai
sesuatu yang ada yang sama sekali tidak ditentukan oleh rasio saya. Dengan
demikian, aku mengakui kehadirannya. Kepastian terhadap “yang lain” tidak lepas
dari hal konkrit ang ada di dunia. Oleh sebab itu, manusia terkait dengan
dimensi etika. Manusia juga mengharapkan menjadi “seseorang” dihadapan orang
lain karena dia ingin dilakukan seperti “yang lain”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar