Tanganmu
dipundakku, tanganku dipundakmu
Sebuah Permenungan
di balik Misteri Paskah
Paskah baru saja
lewat. Tidak, lebih tepatnya baru saja dimulai. Tahun yang istimewa bagiku
terutama pada masa-masa tahun pastoral kali ini. Sungguh, nuansa ini begitu
kental terasa. Pastinya, ini adalah jejak yang disediakan Tuhan bagiku dan aku
cukup dengan setia dan sabar mengikuti serta merenungkannya. Sejak awal
perutusanku, ah, aku harus bertemu dengan jiwa-jiwa muda Gereja. Terkadang
terbersit keraguan kepada Dia, apa yang kau inginkan dariku? Apa yang ingin Kau
sampaikan kepadaku?
Paskah baru saja
lewat. Tidak, lebih tepatnya baru saja dimulai. Sahabat-sahabat baru adalah
rahmat yang Dia berikan padaku kali ini. Aku tidak pernah memintanya, aku tidak
pernah memohon kepadanya, dan aku tidak pernah memaksa Dia untuk memberiku
sahabat lebih banyak. Tapi, aku diletakkan di tengah sahabat-sahabat muda.
Pusing ya, bingung ya, marah ya, kesel ya, gembira ya, sedih ya, miris ya,
senyum ya, terharu ya, dan masih banyak “ya” yang lain, dan itu menghiasi
hari-hariku.
Paskah baru saja
lewat. Tidak, lebih tepatnya baru saja dimulai. Baru saja Dia mengajarkan
padaku sebuah cinta. Kukatakan itu cinta, karena Dia tidak hanya mengajar dan
memerintah. Dia juga melaksanakan dan mewujudkan cinta. Dia, Sang promotor
cinta dan pelaksana cinta. Sebuah kepenuhan cinta, terutama untuk para sahabat
yang diberikan Bapa kepada-Nya. Inilah Paskah, yang baru. Bukan karena sesuatu
yang baru tetapi karena yang lama telah diberi nafas baru.
Kamulah Sahabat-Sahabatku…
Ada hal baru yang
membuat kamis itu menjadi sungguh putih, sungguh putih. Sebuah pengenangan akan
arti seorang sahabat yang mencintai sahabatnya. Kau bisa menarik sejenak kaki
sahabatmu, membasuhnya dalam sebuah ember sederhana, membersihkan sejenak dari
kotoran yang ada pada sela-sela jari, memberikan sedikit pijatan, mengelapnya
dan mencium kakinya. Mungkin sedikit perbincangan personal, seakan kehadiran
yang lain tak dianggap ada. Ketika kaki digunakan untuk menginjak orang, Dia
mengajarkan padaku untuk mencintai kaki itu sendiri. Ya, kaki, pada kakilah
kami berdiri dan melangkah setapak demi setapak mengikuti jejaknya. Biarkan
kaki ini mendapatkan kesefaran cinta dari pelayanan para sahabat. Sebuah tanda
bahwa perjalanan ini adalah perjalanan cinta bersama Sang Kepenuhan Cinta.
Tanganmu, Tanganku…
Simon dari Kirene
terperanjat dari kesadarannya. Pemaksaan terhadapnya membuatnya menjadi
terkenal. Orang-orang mengenal dia karena membantu Yesus memanggul salib.
Sebuah adegan menarik dalam film “The Passion of Christ”. Dua tangan saling
menyilang, yang satu meletakkan pada bahu yang lain, begitu juga sebaliknya.
Kenapa harus demikian? Bukankah akan semakin berat? Ya, itulah sahabat. Kau
tidak hanya akan mengangkat salib permasalahan hidupnya. Kau juga harus
mengangkat tubuh sahabatmu. Itulah pintu kepada cinta yang memahami kehadiran
sahabat. Terkadang tanganku kugunakan untuk membantumu, tapi sahabat gunakanlah
pula tanganku sebagai tanganmu pula dan marilah kita jalan bersama. Bukankah
kita saling merangkul satu dengan yang lain dalam Dia, Sang Kepenuhan Cinta?
Terang dan Gelap…
Jumat Malam hingga
sabtu pagi, gelap gulita. Siapa yang dapat dilihat? Tidak ada yang bisa dilihat
bahkan berkaca pun tak bisa. Aku berbincang pelan dengan sahabat-sahabatku tapi
hanya gelap yang terlihat. Akhirnya, aku duduk tenang dipojok kamarku. Semua
manusia, saat itu, sama dihadapanku. Aku tak mengenal mereka lagi, hanya suara
dan langkah kaki mereka. Kacamata baru diberikan kepadaku. Aku tidak bisa
memilih kepada siapa aku menegur dan berbincang. Satu per satu kusapa dan
kutegur ketika berpapasan. Kenal wajahnya? Jelas tidak. Terkadang sahabat ada
karena sebuah pilihan dan kecocokan. Lalu Yesus dengan murid-Nya? Bukankah tidak
cocok tentang gambaran Kerajaan Allah? Ya, cinta sahabat adalah cinta dalam
kegelapan dan cinta itu hadir sebagai terang. Kau tak perlu kenal kepada siapa
kau membagikan cinta Allah itu. Berikanlah! Cinta, Sang Kepenuhan Cinta, itu
akan menjadi terang di antaramu dan memberikan makna untukku dan untukmu.
Lari, Lari, Lari….
Lari, lari,
lari…biarkan aku berjumpa dengan Dia yang aku rindukan. Aku merindukannya
karena aku telah menipu diriku juga menolak dirinya. Aku merindukannya karena
aku telah membawanya pada kematian. Aku merindukannya karena aku sadar bahwa
aku mencintai sahabat yang telah mencintai aku lebih dulu. Mungkin itulah isi
hati St. Petrus ketika dia berlari untuk mendapati kubur yang telah kosong.
Yang didapatinya adalah kubur kosong. Sebuah pertanda hidup baru, kerinduan
akan hidup yang baru. Bukankah seorang sahabat seperti itu ya? Dia merindukan
sahabatnya untuk bisa hidup dalam lebih baik, lebih baik dan selalu lebih baik.
Bukankah cinta sahabat mendorong orang untuk bergegas memberikan sesuatu yang
lebih baik, lebih baik dan selalu lebih baik? Sebuah kerinduan berbagi cinta,
seperti Sang Kepenuhan Cinta sendiri.
Paskah baru saja
lewat. Tidak, lebih tepatnya baru dimulai bagiku. Sebuah kacamata baru
ditunjukkan kepadaku tentang cara pandang kepada mereka yang dipercayakan Tuhan
kepadaku. Mungkin dulu aku pernah menolak dan meratapi. Tapi, sekarang aku
belajar menerima dan memandang mereka dalam semangat persahabatan. Di dalamnya,
pasti sulit dan masih tertatih. Bukankah yang tertatih itu yang akan berdiri
tegar dan mampu berlari.
Terima kasih kepada
Dia…Sang Paskah
Terima kasih kepada
Dia…Sang Guru dan Sahabat
Terima kasih kepada
Dia…Sang Kepenuhan Cinta
Terima kasih
Paskah…..karena kamu memanggilku Sahabat
Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah
memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.
(Yoh 15:15)
Fr. Ambrosius
Lolong
Seminari Menengah
St. Petrus Canisius
Mertoyudan,
Magelang
Minggu, 20 April
2014
Pkl. 23.30 Waktu
Setempat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar