Waktunya
sama, suara hatinya berbeda
Kapan
seekor burung kecil tahu dia punya sayap?
Kapan
seekor burung kecil tahu dia bisa merentang sayap?
Kapan
seekor burung kecil tahu dia bisa terbang?
Kapan
seekor burung kecil akhirnya tahu dia bisa mengepakkan sayapnya?
Seekor burung kecil keluar
dari cangkang yang selama ini menjadi tempat perlindungan baginya. Dalam
cangkang itu, burung kecil menuai kehangatan dan kemesraan. Tapi, kini telah
tiba waktunya burung kecil harus beranjak dari kehangatan dan kemesraan. Dia
harus bergerak bahkan memecah kehangatan dan kemesraan itu sendiri. Siapa yang
memecahkannya? Ya dia sendiri yang memecahkannya dengan sebuah keputusan yang
siap menanggung resiko. Kini dunia terbuka baginya. Ada yang salahkah dengan
pandangan burung kecil ini? gelap dan tak melihat apa pun di luar sana. Mengapa
dia buta? Tidak! Ini malam hari dan gelap. Burung kecil hanya terus mengedipkan
matanya. Berharap, dia dapat melihat sesuatu yang luar biasa atau yang biasa
saja juga sudah cukup. Tapi ini dunia yang baru baginya. Kegelapan pun menjadi
sesuatu yang luar biasa baginya.
***
Aku beranjak dari kursi
kenyamananku. Tempat yang Dia sediakan bagiku adalah tempat yang jauh dan luput
dari bayanganku. Ah, kekelaman telah menantiku. Selimut malam jelas-jelas
sebagai sahabatku pula. Kenapa rasanya kok gelap sekali duniaku ini? ah mungkin
aku lupa dengan terang atau mungkin aku tidak punya terang itu. ah, mengapa
terang Nampak jauh daripadaku? Apa yang harus kulakukan? Aku Cuma ingin belajar
berjalan dalam kegelapan. Paling-paling aku terjatuh dan sakit.
Malam pun datang menemani.
Doa pertamaku, kapankah “hari ini” akan datang, Tuhan? Aku sungguh merindukan “hari
ini”. ibarat orang yang berhari-hari tidak minum dan mandi. Itulah diriku,
merindukan sebuah kesejukan dan kenikmatan segarnya air. Mungkin air itu hanya
lewat kerongkongan dan mengalir lembut pada kulitku. Aku merindukan “hari ini”,
hari dimana semuanya berakhir dan aku bisa melangkahkan kaki. Aku merindukan “hari
ini”, hari dimana tidak ada lagi mata yang senantiasa melirik ke arahku. Aku
merindukan “hari ini”, hari dimana puluhan suara tidak lagi terdengar di
telingaku.
Malam pun datang menemani.
Doa keduaku, mengapa ada secarik surat di dalam sebuah pot, apa maksud di balik
semua ini Tuhan? Aku bukan petani walau kakekku seorang petani. Aku bukan
petani yang pandai menabur dan merawat. Aku juga bukan petani yang paham
tanaman yang ditanamnya. Aku Cuma manusia biasa. Bukan manusia sempurna bahkan
terlalu hina. Dan lagi, aku merindukan “hari ini”, hari dimana panenan siap
diambil. Tapi, bagaimana aku bisa panen kalau aku tidak pernah menabur dan
merawat?
Malam pun datang menemani
lagi. Kali ini menjelang tengah malam. Doa ketigaku, mengapa mata ini berkaca-kaca
melihat bintang-bintang? Aku bukan ahli astrologi yang paham pada rangkaian
gugusan bintang. Aku bukan ahli astrologi yang ramalannya senantiasa dinanti
setiap hari. aku juga bukan peramal yang pandai menerka langkah hidup orang. aku
Cuma orang biasa yang melihat bintang di malam hari. mungkin dulu sinarnya
bertanding dengan sinar lampu. Tapi, karena gelap, sinarnya menjadi begitu
jelas dan terang. aku hanya ingin menikmati sinat bintang itu. terkadang dia
redup, terkadang terang benderang.
Malam pun datang menemani
lagi. Kali ini tiga malam. Doa keempatku, mengapa bintang itu bertabur di
langit? Apakah itu tempat mereka untuk bersinar? Tepatkah bintang-bintang itu
tertambat pada langit kelam itu? mungkin saja, bintang senang tertambat di
sana. Mungkin dia duduk sambil minum kopi dibarengi sebuah buku penyejuk batin.
Mungkin dia sedang berdiri, berlari mengejar bola dan bercengkerama dengan
cahaya bintang yang lain. mungkin, bintang sedang berdiam diri, berdoa dan
sedang membagikan sinar kepada mereka yang butuh pengganti lampu.
Malam pun datang menemani
lagi. Sungguh setia sang malam ini. Kali ini tepat di penghujung waktu. Ya,
malam tepat datang di penghujung hari. Dia datang ketika hari perjumpaan
berganti menjadi hari perpisahan. Satu hari sudah dilewati dan malam adalah
batas. Esok, sekarang dan yang lalu dibatasi oleh malam. Kali ini, perjumpaan
dan perpisahan juga dibatasi oleh malam. Aku bukan sang hari itu. aku juga
bukan malam itu. aku pun bukan sang waktu. Aku ini penikmat hari. Aku ini penikmat
malam. Dan aku ada dalam proses perjalanan waktu itu sendiri. Kali ini, malam
menjadi pembatas antara “hari lalu” dengan “hari ini”. hari yang telah
kunantikan sejak berjumpa dengan “hari lalu”. Kaca itu pun pecah, perlahan
melukai mata sehingga terurai yang bening, yang tulus dari dalam hatiku. Doa
kelimaku, tidak akan terputus untuk bintang-bintang yang bertaburan.
***
Burung kecil bergerak dan
membentangkan sayap. Apa yang dicarinya? Cahaya bintang malam hari telah
menyinari dan memberikan keberanian dalam hati kecilnya. Seberkas cahaya cinta
untuk seberkas keberanian mengepakkan sayap. Ketika punya keberanian, sang
burung kecil tahu bahwa dia punya sayap. Ketika punya keyakinan, sang burung
kecil inilah waktunya untuk membentangkan sayap rapuhnya. Ketika tahu bahwa dia
akan jatuh, sang burung kecil sadar bahwa dia sudah terbang setinggi mungkin.
Dan, ketika dia menikmati hidup dan hatinya, sang burung kecil sedang
mengepakkan sayap. Dia terbang kemana dia inginkan. Meraih cahaya bintang dan
bermandikan sinar rembulan.
Untuk sinar bulan yang tak lelah dan tak
redup………
Untuk para bintang di malam-malam
panggilan…….
Untuk burung kecil dengan sayapnya yang
rapuh………
Untuk “hari lalu” yang menjadi awal …….
Untuk “hari ini” yang menjadi kepenuhan cinta
Tuhan……
Dan, untuk Tuhan….. ‘cause you’re a sky full of stars
Oh “hari ini”, waktu yang dinantikan
sama…
Tapi percayalah bahwa suara hati telah
bercerita banyak tentang suatu hal yang beda dan bari
“hari ini”, 21 Juni 2014
Pkl. 04.00 WIB
Fr. Ambrosius Lolong
Seminari Menengah St. Petrus Canisius
Mertoyudan, Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar