Rabu, 27 Mei 2015

Ketika Burung Kecil Sadar Punya Sayap

Waktunya sama, suara hatinya berbeda


Kapan seekor burung kecil tahu dia punya sayap?
Kapan seekor burung kecil tahu dia bisa merentang sayap?
Kapan seekor burung kecil tahu dia bisa terbang?
Kapan seekor burung kecil akhirnya tahu dia bisa mengepakkan sayapnya?


Seekor burung kecil keluar dari cangkang yang selama ini menjadi tempat perlindungan baginya. Dalam cangkang itu, burung kecil menuai kehangatan dan kemesraan. Tapi, kini telah tiba waktunya burung kecil harus beranjak dari kehangatan dan kemesraan. Dia harus bergerak bahkan memecah kehangatan dan kemesraan itu sendiri. Siapa yang memecahkannya? Ya dia sendiri yang memecahkannya dengan sebuah keputusan yang siap menanggung resiko. Kini dunia terbuka baginya. Ada yang salahkah dengan pandangan burung kecil ini? gelap dan tak melihat apa pun di luar sana. Mengapa dia buta? Tidak! Ini malam hari dan gelap. Burung kecil hanya terus mengedipkan matanya. Berharap, dia dapat melihat sesuatu yang luar biasa atau yang biasa saja juga sudah cukup. Tapi ini dunia yang baru baginya. Kegelapan pun menjadi sesuatu yang luar biasa baginya.

***

Aku beranjak dari kursi kenyamananku. Tempat yang Dia sediakan bagiku adalah tempat yang jauh dan luput dari bayanganku. Ah, kekelaman telah menantiku. Selimut malam jelas-jelas sebagai sahabatku pula. Kenapa rasanya kok gelap sekali duniaku ini? ah mungkin aku lupa dengan terang atau mungkin aku tidak punya terang itu. ah, mengapa terang Nampak jauh daripadaku? Apa yang harus kulakukan? Aku Cuma ingin belajar berjalan dalam kegelapan. Paling-paling aku terjatuh dan sakit.

Malam pun datang menemani. Doa pertamaku, kapankah “hari ini” akan datang, Tuhan? Aku sungguh merindukan “hari ini”. ibarat orang yang berhari-hari tidak minum dan mandi. Itulah diriku, merindukan sebuah kesejukan dan kenikmatan segarnya air. Mungkin air itu hanya lewat kerongkongan dan mengalir lembut pada kulitku. Aku merindukan “hari ini”, hari dimana semuanya berakhir dan aku bisa melangkahkan kaki. Aku merindukan “hari ini”, hari dimana tidak ada lagi mata yang senantiasa melirik ke arahku. Aku merindukan “hari ini”, hari dimana puluhan suara tidak lagi terdengar di telingaku.
Malam pun datang menemani. Doa keduaku, mengapa ada secarik surat di dalam sebuah pot, apa maksud di balik semua ini Tuhan? Aku bukan petani walau kakekku seorang petani. Aku bukan petani yang pandai menabur dan merawat. Aku juga bukan petani yang paham tanaman yang ditanamnya. Aku Cuma manusia biasa. Bukan manusia sempurna bahkan terlalu hina. Dan lagi, aku merindukan “hari ini”, hari dimana panenan siap diambil. Tapi, bagaimana aku bisa panen kalau aku tidak pernah menabur dan merawat?
Malam pun datang menemani lagi. Kali ini menjelang tengah malam. Doa ketigaku, mengapa mata ini berkaca-kaca melihat bintang-bintang? Aku bukan ahli astrologi yang paham pada rangkaian gugusan bintang. Aku bukan ahli astrologi yang ramalannya senantiasa dinanti setiap hari. aku juga bukan peramal yang pandai menerka langkah hidup orang. aku Cuma orang biasa yang melihat bintang di malam hari. mungkin dulu sinarnya bertanding dengan sinar lampu. Tapi, karena gelap, sinarnya menjadi begitu jelas dan terang. aku hanya ingin menikmati sinat bintang itu. terkadang dia redup, terkadang terang benderang.
Malam pun datang menemani lagi. Kali ini tiga malam. Doa keempatku, mengapa bintang itu bertabur di langit? Apakah itu tempat mereka untuk bersinar? Tepatkah bintang-bintang itu tertambat pada langit kelam itu? mungkin saja, bintang senang tertambat di sana. Mungkin dia duduk sambil minum kopi dibarengi sebuah buku penyejuk batin. Mungkin dia sedang berdiri, berlari mengejar bola dan bercengkerama dengan cahaya bintang yang lain. mungkin, bintang sedang berdiam diri, berdoa dan sedang membagikan sinar kepada mereka yang butuh pengganti lampu.
Malam pun datang menemani lagi. Sungguh setia sang malam ini. Kali ini tepat di penghujung waktu. Ya, malam tepat datang di penghujung hari. Dia datang ketika hari perjumpaan berganti menjadi hari perpisahan. Satu hari sudah dilewati dan malam adalah batas. Esok, sekarang dan yang lalu dibatasi oleh malam. Kali ini, perjumpaan dan perpisahan juga dibatasi oleh malam. Aku bukan sang hari itu. aku juga bukan malam itu. aku pun bukan sang waktu. Aku ini penikmat hari. Aku ini penikmat malam. Dan aku ada dalam proses perjalanan waktu itu sendiri. Kali ini, malam menjadi pembatas antara “hari lalu” dengan “hari ini”. hari yang telah kunantikan sejak berjumpa dengan “hari lalu”. Kaca itu pun pecah, perlahan melukai mata sehingga terurai yang bening, yang tulus dari dalam hatiku. Doa kelimaku, tidak akan terputus untuk bintang-bintang yang bertaburan.

***

Burung kecil bergerak dan membentangkan sayap. Apa yang dicarinya? Cahaya bintang malam hari telah menyinari dan memberikan keberanian dalam hati kecilnya. Seberkas cahaya cinta untuk seberkas keberanian mengepakkan sayap. Ketika punya keberanian, sang burung kecil tahu bahwa dia punya sayap. Ketika punya keyakinan, sang burung kecil inilah waktunya untuk membentangkan sayap rapuhnya. Ketika tahu bahwa dia akan jatuh, sang burung kecil sadar bahwa dia sudah terbang setinggi mungkin. Dan, ketika dia menikmati hidup dan hatinya, sang burung kecil sedang mengepakkan sayap. Dia terbang kemana dia inginkan. Meraih cahaya bintang dan bermandikan sinar rembulan.


Untuk sinar bulan yang tak lelah dan tak redup………
Untuk para bintang di malam-malam panggilan…….
Untuk burung kecil dengan sayapnya yang rapuh………
Untuk “hari lalu” yang menjadi awal …….
Untuk “hari ini” yang menjadi kepenuhan cinta Tuhan……
Dan, untuk Tuhan….. ‘cause you’re a sky full of stars



Oh “hari ini”, waktu yang dinantikan sama…
Tapi percayalah bahwa suara hati telah bercerita banyak tentang suatu hal yang beda dan bari

“hari ini”, 21 Juni 2014
Pkl. 04.00 WIB

Fr. Ambrosius Lolong
Seminari Menengah St. Petrus Canisius

Mertoyudan, Magelang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar