Ketika
Matahari Tak Lagi Bersinar
Sebuah Permenungan di Balik
Misteri Paskah
Tiba-tiba
mati lampu malam hari di ibukota dan seorang raja menghampiri putera mahkota.
Matanya telah terlalu tua untuk mencari sesuatu di tengah kegelapan. Permintaan
pertama sang raja, “ambilkan mahkotaku nak di kamar, aku hendak berjumpa dengan
rakyat.” Sang putera raja datang dan menyerahkan sebuah keset. Raja tersenyum.
Permintaan kedua sang raja, “tolong ambilkan aku tongkat kekuasaanku di dekat kasur.”
Sang putera raja datang dan menyerahkan tiga buah paku. Permintaan ketiga sang raja,
“kalau begitu, tolong ambilkan aku lampu senter.” Dan, sang putera raja datang
membawa lilin yang bernyala. Kata sang raja pada putera mahkotanya, “sekarang
ambilkan barang-barang yang kupinta darimu. Temukanlah dan itu akan menjadi
milikmu”. Sang putera berhasil dan sang raja tersenyum bahagia.
***
Paskah
kini datang lagi dan menemani dengan cara yang luar biasa. Seperti biasanya,
kami duduk berdua bahkan berbincang sambil tidur-tiduran. Kukenalkan sahabatku,
namanya Paskah dan dia datang berkunjung setahun sekali untuk berbincang. Dan
itulah ilustrasi yang diberikannya kali ini tentang sebuah momen yang aku
jalani setiap harinya. Setidaknya, ini bisa menjadi bekal setahun ke depan
sampai kami berjumpa dan berbagi pengalaman. Tentu, pembicaraan kami tidak
pernah terarah hingga kami menentukan arah itu sendiri. Bukankah begitu arti
sebuah pilihan? Keterarahan yang diarahkan di antara ketidakarahan. Itu hanya
definisi kami. Kanan-kiri, atas-bawah, maju-mundur, ya-tidak, dsb yang pada
akhirnya harus ditentukan sendiri. Semoga tidak ditentukan oleh orang lain.
Meletakkan kaki di kepala atau
meletakkan kepala di kaki
Paskah
mengajukan sebuah pertanyaan, “manakah yang lebih mudah bagimu: memandang ke
atas atau memandang ke bawah? Melangkah ke atas atau melangkah ke bawah?
Mendongakkan kepala atau menundukkan kepala?” Tentu tidak mudah untuk dapat
langsung menjawab, atau mungkin mudah menentukannya. Rasanya lebih mudah
mengarahkan di untuk selalu ke atas. Tidak jarang pula banyak hal mesti
dikorbankan demi mencapai titik tertinggi. Entah apa yang dipijaknya hingga
bisa berdiri di puncak kejayaan. Mungkin juga, kepala sesama dijadikan anak
tangga hingga posisi tertinggi dapat dinikmati dengan mudah. Rasanya tidak
dengan Dia. Kepalanya senantiasa tertunduk dan mengambil posisi paling bawah di
antara sahabatnya. Dengan sebuah baskom dan sehelai kain, Dia mencuci kaki sahabat-sahabat-Nya,
membersihkan, mengelap hingga kering dan kemudian meletakkan kepala di kaki.
Dia menciumnya dengan penuh hati. Sebuah hal yang tidak mungkin ditemukan
bukan?
Jawabku,
tergantung kebutuhan. Ada kalanya aku melihat ke atas dan ada kalanya aku
melihat ke bawah. Kondisi dapat berubah sesuai keadaan lingkungan. Mungkin aku
perlu melihat ke atas, mungkin pula aku melihat ke bawah. Paskah tersenyum dan
berkata, “benar katamu, kau dapat melihat ke atas dan melihat ke bawah sesuai
dengan kebutuhanmu. Lalu sikap apa yang akan kau ambil bila dihadapkan dengan
dua pilihan: meletakkan kaki di kepala atau meletakkan kepala di kaki? Tentu
ini sebuah pilihan dan kita berdua memiliki seorang guru yang sama.” Tentu
Kamis Putih bukan sekadar memandang atas atau bawah tetapi bagaimana memandang.
Jangan sampai memandang tinggi seakan tidak terjangkau bahkan mengalahkan Allah
dan juga jangan sampai memandang rendah seakan diri menjadi yang terbaik bahkan
mampu menyaingi Allah.
Tubuh yang Bersalib atau salib
yang bertubuh
Paskah
bertanya kembali, “manakah yang lebih mudah: mengangkat salib atau mengangkat
tubuh?” andaikata dalam situasi Yesus yang menderita dan dihadapkan dengan dua
pilihan tersebut, menurutmu, manakah yang akan Yesus pilih? Salib senantiasa
menjadi simbol beban, dosa, tanggung jawab dan sesuatu yang menyesakkan hidup.
Terkadang muncul pandangan, ‘ah mungkin ini salibku’ atau ‘ah itu adalah salib
kita’ atau juga ‘ya, itulah salibmu yang harus dipanggul’. Ungkapan tersebut
sering diungkapkan dan rasanya salib menjadi sesuatu yang ditambahkan dalam
hidup yang harus ditanggung sebagai silih atas dosa. Apakah Allah sungguh
meletakkan penderitaan dalam hidup manusia? Apakah salib adalah hambatan untuk
menjalani hidup bahagia dalam rahmat Allah?
Sangat
mungkin bagi siapa pun untuk memilih mengangkat salib. Dapat saja salib
ditinggal begitu saja. Misalnya orang yang tidak tahan stress lalu memilih
bunuh diri. Yesus tidak pernah mengangkat salib. Dia justru lebih dari itu,
mengangkat tubuhnya untuk bersedia di paku pada kayu salib. Tiga kali Yesus
jatuh dalam perjalanan ke puncak Golgota dan ini menjadi tanda yang kuat bahwa
pertama-tama Yesus harus mengangkat tubuhnya. Kalau Yesus tidak mengangkat
tubuhnya, Dia tidak akan pernah mengangkat salib dan tidak akan wafatt di
salib. Sekali lagi, ini tentang sebuah pilihan. Mengangkat tubuh tentu punya
semangat rela dan ikhlas dalam menjalani hidup. Bisa saja Yesus meletakkan
salib dengan menghindar dari para tentara dan imam-imam kepala. Tapi, sejak
pergumulan di taman Getsemani, Dia sudah mulai mengangkat tubuh sampai di
puncak Golgota. Jumat Agung bukan sekadar mengenang penderitaan tetapi Dia
mengajarkan tentang bagaimana menghadapi penderitaan. Jangan sampai terlalu
anti dengan penderitaan seakan penderitaan adalah batu sandungan dari
kebahagiaan atau jangan pula seperti orang yang masokis, yang siap disiksa,
demi kebahagiaan diri. Sekali lagi, ini tentang kerelaan dan keikhlasan hati
yang tulus.
Cinta yang menghidupkan atau
menghidupkan cinta
Kali
ini Paskah sedikit lebih romantis. Dia bertanya, “apa itu cinta?” Banyak
pujangga mencoba mengartikan cinta dengan berbagai kiasan. Kalau ada satu hal
yang tidak pernah luput dari perhatian dunia, satu hal tersebut adalah cinta.
Cinta akan selalu menjadi trending topic
tweeter sepanjang masa. Satu ilustrasi, cinta itu ibarat api. Merah membara
dirinya, hangat di sekitarnya dan terang di sekelilingnya. Mungkin mirip dengan
cinta. Cinta memberikan terang ketika berbunga-bunga tetapi juga bisa
mendatangkan pilu ketika cinta itu lenyap. Kalau cinta itu mati, dengan apa
cinta dapat dihidupkan kembali?
Bagaimana
pertama kali api ditemukan? Tentu menjadi fenomena yang luar biasa karena
setelah itu kehidupan manusia berubah. Orang tidak lagi berbicara tentang bagaimana
api ditemukan tetapi orang akan berbicara tentang bagaimana api mempengaruhi
perkembangan manusia menjadi lebih baik. Orang pada era modern seperti ini
tentu sudah menikmati pengaruh api sampai pada level yang sangat tinggi dengan
kegunaan yang beraneka ragam. Sabtu Suci tidak berbicara bagaimana api
dinyalakan pada lilin Paskah tetapi berbicara tentang bagaimana api pada lilin
Paskah mempengaruhi hidup dan iman menjadi lebih baik. Sangat sederhana, satu
hal yang pasti adalah lilin Paskah menjadi sumber terang. Tentu, tidak hanya
itu karena pada pengenangan janji baptis, terang lilin Paskah sekali lagi
dibagikan. Apa artinya?
Sabtu
Suci menceritakan cinta Allah pada umat Israel yang dipelihara Allah dengan
luar biasa. Tentu bukan hanya orang Israel tetapi juga menjadi tanda bagi umat
manusia. Begitu luar biasa Allah mencintai umat sehingga mengutus Sang Putera.
Pertanyaannya, mengapa Sang Putera dibiarkan jatuh pada gelapnya kematian? Bagi
saya, Sabtu Suci tidak hanya berbicara tentang cinta yang menghidupkan. Lebih
dari itu, Sabtu Suci berbicara tentang menghidupkan cinta. Cinta yang telah
mati dihidupkan kembali sehingga menjadi harapan hidup yang lebih baik. Kalau
cinta dibiarkan mati, dunia akan menjadi gelap. Kalau cinta dihidupkan kembali,
dunia akan menjadi terang. Sekali lagi, ini adalah pilihan dan Allah memilih
menghidupkan cinta itu lagi.
Paskah: Tentang Menyalakan
Seberkas Cahaya
Tunjukkan
padaku cara mencari dan mendapatkan sesuatu di dalam kegelapan. Ketika mata
tertutup oleh gelap, bagaimana kita dapat membedakan komik dengan buku catatan?
Bagaimana membedakan bola sepak dan bola voli? Bagaimana membedakan formulir
pendaftaran dengan brosur iklan? Lebih dari itu, bagaimana membedakan yang baik
dan yang buruk dalam kegelapan? Sangat sulit untuk menentukan pilihan ketika
berada dalam kegelapan. Kita akan menjadi lebih mudah untuk memilih ketika
menentukan sesuatu dalam situasi yang terang. Mana yang buku catatan dan buku
komik, mana yang bola sepak dan bola voli, mana yang formulir dan mana yang
brosur, juga mana yang baik dan mana yang buruk.
Paskah
kali ini berbincang tentang seberkas cahaya, hanya seberkas. Mengapa seberkas?
Karena seberkas sangat amat berarti dalam kegelapan. Mengapa Yesus membasuh dan
mencium kaki sahabat-sahabatNya? Mengapa Yesus memilih setia dengan salibNya?
Mengapa Yesus bangkit dan memberikan harapan baru? Rasanya itu hanya seberkas
cahaya di tengah kegelapan. Adakah yang mau dengan rela membasuh kaki orang
lain? Adakah penjahat yang merelakan diri di salib? Adakah yang memberikan
harapan lebih daripada sebuah kebangkitan? Hal tersebut adalah sesuatu yang
gelap bagi dunia ini. Tentu, hal ini juga gelap bagi saya. Namun, seperti
cahaya lilin Paskah yang kecil di tengah gelapnya ruangan gereja, siapa pun
dapat memandang dan mengetahui datangnya sumber cahaya. Bagaimana kalau
seberkas cahaya itu dibagikan? Bukankah gereja menjadi lebih terang ketika
exultet dinyanyikan?
***
Ketika
matahari tidak lagi bersinar…
Adakah
satu keputusan yang dapat aku ambil?
Adakah
satu langkah tegap yang dapat aku jalani?
Adakah
satu tatapan yang dapat aku lihat?
Adakah
satu cinta yang dapat aku rasakan?
Ketika
matahari tidak lagi bersinar…
Aku
berharap pagi segera menjelang…
Karena
dibutuhkan terang….
untuk
memilih, melangkah, menatap dan merasakan…..
Selamat
Paskah 2015
Seberkas
cahaya-Nya untukku dan untukmu
Fr.
Ambrosius Lolong
Seminari
Tinggi St. Paulus, Kentungan
Yogyakarta,
12 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar