Rabu, 27 Mei 2015

Ketika Matahari Tak Lagi Bersinar
Sebuah Permenungan di Balik Misteri Paskah


Tiba-tiba mati lampu malam hari di ibukota dan seorang raja menghampiri putera mahkota. Matanya telah terlalu tua untuk mencari sesuatu di tengah kegelapan. Permintaan pertama sang raja, “ambilkan mahkotaku nak di kamar, aku hendak berjumpa dengan rakyat.” Sang putera raja datang dan menyerahkan sebuah keset. Raja tersenyum. Permintaan kedua sang raja, “tolong ambilkan aku tongkat kekuasaanku di dekat kasur.” Sang putera raja datang dan menyerahkan tiga buah paku. Permintaan ketiga sang raja, “kalau begitu, tolong ambilkan aku lampu senter.” Dan, sang putera raja datang membawa lilin yang bernyala. Kata sang raja pada putera mahkotanya, “sekarang ambilkan barang-barang yang kupinta darimu. Temukanlah dan itu akan menjadi milikmu”. Sang putera berhasil dan sang raja tersenyum bahagia.
***
Paskah kini datang lagi dan menemani dengan cara yang luar biasa. Seperti biasanya, kami duduk berdua bahkan berbincang sambil tidur-tiduran. Kukenalkan sahabatku, namanya Paskah dan dia datang berkunjung setahun sekali untuk berbincang. Dan itulah ilustrasi yang diberikannya kali ini tentang sebuah momen yang aku jalani setiap harinya. Setidaknya, ini bisa menjadi bekal setahun ke depan sampai kami berjumpa dan berbagi pengalaman. Tentu, pembicaraan kami tidak pernah terarah hingga kami menentukan arah itu sendiri. Bukankah begitu arti sebuah pilihan? Keterarahan yang diarahkan di antara ketidakarahan. Itu hanya definisi kami. Kanan-kiri, atas-bawah, maju-mundur, ya-tidak, dsb yang pada akhirnya harus ditentukan sendiri. Semoga tidak ditentukan oleh orang lain.


Meletakkan kaki di kepala atau meletakkan kepala di kaki
Paskah mengajukan sebuah pertanyaan, “manakah yang lebih mudah bagimu: memandang ke atas atau memandang ke bawah? Melangkah ke atas atau melangkah ke bawah? Mendongakkan kepala atau menundukkan kepala?” Tentu tidak mudah untuk dapat langsung menjawab, atau mungkin mudah menentukannya. Rasanya lebih mudah mengarahkan di untuk selalu ke atas. Tidak jarang pula banyak hal mesti dikorbankan demi mencapai titik tertinggi. Entah apa yang dipijaknya hingga bisa berdiri di puncak kejayaan. Mungkin juga, kepala sesama dijadikan anak tangga hingga posisi tertinggi dapat dinikmati dengan mudah. Rasanya tidak dengan Dia. Kepalanya senantiasa tertunduk dan mengambil posisi paling bawah di antara sahabatnya. Dengan sebuah baskom dan sehelai kain, Dia mencuci kaki sahabat-sahabat-Nya, membersihkan, mengelap hingga kering dan kemudian meletakkan kepala di kaki. Dia menciumnya dengan penuh hati. Sebuah hal yang tidak mungkin ditemukan bukan?
Jawabku, tergantung kebutuhan. Ada kalanya aku melihat ke atas dan ada kalanya aku melihat ke bawah. Kondisi dapat berubah sesuai keadaan lingkungan. Mungkin aku perlu melihat ke atas, mungkin pula aku melihat ke bawah. Paskah tersenyum dan berkata, “benar katamu, kau dapat melihat ke atas dan melihat ke bawah sesuai dengan kebutuhanmu. Lalu sikap apa yang akan kau ambil bila dihadapkan dengan dua pilihan: meletakkan kaki di kepala atau meletakkan kepala di kaki? Tentu ini sebuah pilihan dan kita berdua memiliki seorang guru yang sama.” Tentu Kamis Putih bukan sekadar memandang atas atau bawah tetapi bagaimana memandang. Jangan sampai memandang tinggi seakan tidak terjangkau bahkan mengalahkan Allah dan juga jangan sampai memandang rendah seakan diri menjadi yang terbaik bahkan mampu menyaingi Allah.

Tubuh yang Bersalib atau salib yang bertubuh
Paskah bertanya kembali, “manakah yang lebih mudah: mengangkat salib atau mengangkat tubuh?” andaikata dalam situasi Yesus yang menderita dan dihadapkan dengan dua pilihan tersebut, menurutmu, manakah yang akan Yesus pilih? Salib senantiasa menjadi simbol beban, dosa, tanggung jawab dan sesuatu yang menyesakkan hidup. Terkadang muncul pandangan, ‘ah mungkin ini salibku’ atau ‘ah itu adalah salib kita’ atau juga ‘ya, itulah salibmu yang harus dipanggul’. Ungkapan tersebut sering diungkapkan dan rasanya salib menjadi sesuatu yang ditambahkan dalam hidup yang harus ditanggung sebagai silih atas dosa. Apakah Allah sungguh meletakkan penderitaan dalam hidup manusia? Apakah salib adalah hambatan untuk menjalani hidup bahagia dalam rahmat Allah?
Sangat mungkin bagi siapa pun untuk memilih mengangkat salib. Dapat saja salib ditinggal begitu saja. Misalnya orang yang tidak tahan stress lalu memilih bunuh diri. Yesus tidak pernah mengangkat salib. Dia justru lebih dari itu, mengangkat tubuhnya untuk bersedia di paku pada kayu salib. Tiga kali Yesus jatuh dalam perjalanan ke puncak Golgota dan ini menjadi tanda yang kuat bahwa pertama-tama Yesus harus mengangkat tubuhnya. Kalau Yesus tidak mengangkat tubuhnya, Dia tidak akan pernah mengangkat salib dan tidak akan wafatt di salib. Sekali lagi, ini tentang sebuah pilihan. Mengangkat tubuh tentu punya semangat rela dan ikhlas dalam menjalani hidup. Bisa saja Yesus meletakkan salib dengan menghindar dari para tentara dan imam-imam kepala. Tapi, sejak pergumulan di taman Getsemani, Dia sudah mulai mengangkat tubuh sampai di puncak Golgota. Jumat Agung bukan sekadar mengenang penderitaan tetapi Dia mengajarkan tentang bagaimana menghadapi penderitaan. Jangan sampai terlalu anti dengan penderitaan seakan penderitaan adalah batu sandungan dari kebahagiaan atau jangan pula seperti orang yang masokis, yang siap disiksa, demi kebahagiaan diri. Sekali lagi, ini tentang kerelaan dan keikhlasan hati yang tulus.

Cinta yang menghidupkan atau menghidupkan cinta
Kali ini Paskah sedikit lebih romantis. Dia bertanya, “apa itu cinta?” Banyak pujangga mencoba mengartikan cinta dengan berbagai kiasan. Kalau ada satu hal yang tidak pernah luput dari perhatian dunia, satu hal tersebut adalah cinta. Cinta akan selalu menjadi trending topic tweeter sepanjang masa. Satu ilustrasi, cinta itu ibarat api. Merah membara dirinya, hangat di sekitarnya dan terang di sekelilingnya. Mungkin mirip dengan cinta. Cinta memberikan terang ketika berbunga-bunga tetapi juga bisa mendatangkan pilu ketika cinta itu lenyap. Kalau cinta itu mati, dengan apa cinta dapat dihidupkan kembali?
Bagaimana pertama kali api ditemukan? Tentu menjadi fenomena yang luar biasa karena setelah itu kehidupan manusia berubah. Orang tidak lagi berbicara tentang bagaimana api ditemukan tetapi orang akan berbicara tentang bagaimana api mempengaruhi perkembangan manusia menjadi lebih baik. Orang pada era modern seperti ini tentu sudah menikmati pengaruh api sampai pada level yang sangat tinggi dengan kegunaan yang beraneka ragam. Sabtu Suci tidak berbicara bagaimana api dinyalakan pada lilin Paskah tetapi berbicara tentang bagaimana api pada lilin Paskah mempengaruhi hidup dan iman menjadi lebih baik. Sangat sederhana, satu hal yang pasti adalah lilin Paskah menjadi sumber terang. Tentu, tidak hanya itu karena pada pengenangan janji baptis, terang lilin Paskah sekali lagi dibagikan. Apa artinya?
Sabtu Suci menceritakan cinta Allah pada umat Israel yang dipelihara Allah dengan luar biasa. Tentu bukan hanya orang Israel tetapi juga menjadi tanda bagi umat manusia. Begitu luar biasa Allah mencintai umat sehingga mengutus Sang Putera. Pertanyaannya, mengapa Sang Putera dibiarkan jatuh pada gelapnya kematian? Bagi saya, Sabtu Suci tidak hanya berbicara tentang cinta yang menghidupkan. Lebih dari itu, Sabtu Suci berbicara tentang menghidupkan cinta. Cinta yang telah mati dihidupkan kembali sehingga menjadi harapan hidup yang lebih baik. Kalau cinta dibiarkan mati, dunia akan menjadi gelap. Kalau cinta dihidupkan kembali, dunia akan menjadi terang. Sekali lagi, ini adalah pilihan dan Allah memilih menghidupkan cinta itu lagi.

Paskah: Tentang Menyalakan Seberkas Cahaya
Tunjukkan padaku cara mencari dan mendapatkan sesuatu di dalam kegelapan. Ketika mata tertutup oleh gelap, bagaimana kita dapat membedakan komik dengan buku catatan? Bagaimana membedakan bola sepak dan bola voli? Bagaimana membedakan formulir pendaftaran dengan brosur iklan? Lebih dari itu, bagaimana membedakan yang baik dan yang buruk dalam kegelapan? Sangat sulit untuk menentukan pilihan ketika berada dalam kegelapan. Kita akan menjadi lebih mudah untuk memilih ketika menentukan sesuatu dalam situasi yang terang. Mana yang buku catatan dan buku komik, mana yang bola sepak dan bola voli, mana yang formulir dan mana yang brosur, juga mana yang baik dan mana yang buruk.
Paskah kali ini berbincang tentang seberkas cahaya, hanya seberkas. Mengapa seberkas? Karena seberkas sangat amat berarti dalam kegelapan. Mengapa Yesus membasuh dan mencium kaki sahabat-sahabatNya? Mengapa Yesus memilih setia dengan salibNya? Mengapa Yesus bangkit dan memberikan harapan baru? Rasanya itu hanya seberkas cahaya di tengah kegelapan. Adakah yang mau dengan rela membasuh kaki orang lain? Adakah penjahat yang merelakan diri di salib? Adakah yang memberikan harapan lebih daripada sebuah kebangkitan? Hal tersebut adalah sesuatu yang gelap bagi dunia ini. Tentu, hal ini juga gelap bagi saya. Namun, seperti cahaya lilin Paskah yang kecil di tengah gelapnya ruangan gereja, siapa pun dapat memandang dan mengetahui datangnya sumber cahaya. Bagaimana kalau seberkas cahaya itu dibagikan? Bukankah gereja menjadi lebih terang ketika exultet dinyanyikan?
***
Ketika matahari tidak lagi bersinar…
Adakah satu keputusan yang dapat aku ambil?
Adakah satu langkah tegap yang dapat aku jalani?
Adakah satu tatapan yang dapat aku lihat?
Adakah satu cinta yang dapat aku rasakan?

Ketika matahari tidak lagi bersinar…
Aku berharap pagi segera menjelang…
Karena dibutuhkan terang….
untuk memilih, melangkah, menatap dan merasakan…..


Selamat Paskah 2015
Seberkas cahaya-Nya untukku dan untukmu

Fr. Ambrosius Lolong
Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan

Yogyakarta, 12 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar