Bukan hanya tentang memberi,
tetapi juga tentang menerima dengan penuh rasa syukur
Untuk yang dirayakan hari ini
Sang Sumber Energi yang tidak
akan pernah kering
Dua orang bersahabat sejak kecil.
Mereka biasa pergi bermain bersama-sama, juga bersama dengan teman yang lain.
Hanya saja, mereka berdua ini tampak lebih akrab dibandingkan dengan yang lain.
Dalam perjalanan pulang bermain, mereka berdebat tentang tokoh Avengers yang terhebat. Yang pertama
berkata, “aku tertarik dengan Hulk, dia kuat dan besar apalagi ketika marah…wow
banget deh.” Temannya masih terdiam. Yang pertama melanjutkan, “tapi Iron Man
juga hebat, pintar dan punya teknologi yang luat biasa.” Yang kedua masih
terdiam dan asik mendengarkan. Tak disangka, yang kedua terjatuh karena
tersandung batu. Yang pertama berkata seraya mengulurkan tangan, “makanya,
diajak bicara jangan cuma diam dan mendengarkan.” Dia membantu yang kedua untuk
berdiri dan berjalan. “aku sudah menemukan pahlawanku” sahut yang kedua, “dia
yang mengulurkan tangannya kepadaku ketika aku jatuh dan menuntunku untuk
kembali berjalan bersama dengannya.”
***
Aku bosan dengan malam. Wajar saja
karena aku manusia yang memiliki rasa bosan, pun untuk sesuatu yang selayaknya
aku terima dan tak bisa kuhindari. Setelah sekian lama berbincang dengan malam,
terkadang aku juga merindukan sahabat malam, yang hidup berdampingan tetapi
tidak pernah bisa bersama dalam satu ruang dan waktu. Mereka akan bersama dalam
ruang dan waktu yang berbeda. Sebut saja, siang. Sembari menegak susu hangat
pagi hari, aku menantikan kedatangannya yang perlahan. Apalagi kalau bisa
menikmati kedatangannya di puncak gunung, itu sungguh luar biasa. Mungkin
seperti Buddha ketika mendapatkan pencerahannya.
Bosan dengan malam, aku berbincang
dengan siang. Kali ini tentang pahlawan atau mungkin lebih tepatnya
kepahlawanan. Lagi-lagi hal yang abstrak tapi perbincangan kami semakin
menghangatkan siang. Berbekal secangkir susu yang belum habis, singlet dan
sarung yang melekat dan sebentuk kecil kipas angina, kami mulai mencari
pahlawan yang kiranya dicari oleh banyak orang. Siang sendiri mulai merasa
gerah dan membutuhkan kipas untuk meredam panas dalam dirinya. Katanya gerah
dengan situasi dunia yang tanpa pahlawan. Bukan untuk mendinginkan atau
memanaskan dunia melainkan untuk menghangatkan dunia, aku dan ciptaan-Nya.
Siang mengajukan syarat pertama tentang
pahlawannya. Dia harus kuat sehingga tidak mudah dikalahkan atau terkalahkan. Setidaknya
dia harus tahan sakit. Kepahlawanannya akan dihadapkan dengan rasa sakit yang
tidak terkira. Fisik yang harus babak belur, terluka karena pukulan dan
tendangan yang tidak pernah dapat diprediksikan datangnya. Siapa mengira kalau
seorang tentara di medan perang tidak akan terkena luka tembak? Hanya dewi
fortuna saja yang bisa memulangkannya kepada keluarganya dalam keadaan utuh. Siapa
mengira kalau para tukang bangunan tidak akan pernah terkena paku, palu atau
sakit pada otot-ototnya karena pekerjaan yang melampaui batas kemampuannya?
Lagi-lagi dewi fortuna yang terus memberikan pijatan untuk otot-otot tersebut. Siapa
mengira kalau para pembersih jalan tidak akan pernah bertempur dengan sengatan
sinar matahari? Ya, mereka tidak akan bisa membersihkan jalan jika mereka
mengenakan payung. Lagi-lagi dewi fortuna yang akan melapisi kulit mereka
dengan sesuatu yang hanya dapat dimengerti oleh mereka.
Masih banyak hal. Harus tahan sakit?
Sakit seperti apa? Bukan sembarang sakit yang harus dihadapi oleh seorang
pahlawan. Sakit itu tidak bisa dijelaskan, tapi tiba-tiba saja kesesakkan dan
kepedihan menjadi selimut diri. Seorang ibu yang melihat anaknya sakit. Seorang
guru yang melihat muridnya kesulitan belajar. Seorang dokter yang melihat
pasiennya terkapar. Seorang imam yang mendampingi umatnya dalam batas hidupnya.
Seorang…seorang…demi seseorang. Siang bilang itu empati. Dia datang ketika
pusat dan inti kehidupan seorang pahlawan menggugah, membangkitkan dan menyemarakkan
dengan semangat kehidupan itu sendiri.
Harus dikalahkan, kurang lebih begitu
idealnya. Tapi apakah pahlawan tidak boleh kalah? Pahlawan bukan tentang jumlah
kemenangan yang diperolehnya. Pahlawan adalah tentang jumlah kebangkitan dari
keterpurukan yang dialaminya. Bangkit dari tidur tanpa menunda. Bangkit untuk
belajar tanpa disuruh. Bangkit untuk membantu tanpa diminta tolong. Boleh
kalah, dan pahlawan memang harus kalah. Pahlawan tidak pernah berarti kalau
tidak pernah kalah, tidak pernah merasa tidak berguna dan tidak merasa mati dan
dimatikan. Bukan oleh orang lain, melainkan oleh dirinya sendiri. Baja seorang
pahlawan tidak pernah menyelimuti tubuh pahlawan. Baja itu adalah bahan dasar
inti kehidupan pahlawan, hatinya, cara berpikirnya dan komitmennya pada
kehidupan yang menghidupkan.
Dia
terlahir dari materi terbaik
Siang mengidolakan manusia super yang
berasal dari planet Krypton dengan tubuh yang melampaui tubuh manusia. Kebal
terhadap senapan dan peluru tapi tidak pernah tahu apakah kebal terhadap
santet. Kalau memang tidak mungkin, siang mengidolakan serum yang dipakai Captain
America sehingga memiliki tubuh binaragawan dan awet muda. Setidaknya, cukup
ideal bukan untuk ukuran pahlawan. Materi yang membungkus inti baja haruslah
materi terbaik, setidaknya tidak habis dimakan waktu.
Untuk siapakah pahlawan dihadirkan di
dunia? Segala usaha senantiasa dilakukan
tanpa batas. Untuk siapa orang tua bekerja? Untuk siapa dokter bekerja? Untuk
siapa pemulung bekerja? Untuk siapa anak jalanan mengais rejeki? Kalau mereka
adalah pahlawan, untuk siapakah mereka mengucurkan keringat berulang kali.
Hanya untuk satu hal yang luhur, yaitu kehidupan. Dan, kehidupan tidak pernah
lepas dari manusia dan jenis kehidupan di sekitarnya. Untuk manusia sebagai
pusat kehidupan dunia, seharusnya pahlawan adalah manusia. bukan materi yang
sempurna untuk dijadikan seorang pahlawan. Tapi, haruslah pahlawan itu manusia.
Dia hadir sebagai manusia, dari seorang manusia, untuk manusia dan bersama
dengan manusia.
Terbaik. Adalah sebuah jembatan untuk
membagikan kepahlawanan lewat materi manusia, karena bukan sebuah
ketergantungan yang hendak dicapai. Bukan keterikatan tanpa tanggung jawab yang
mau ditumbuhkan. Bukan pula sebuah relasi tanpa kebebasan yang diharapkan. Ada
saatnya dokter menusukkan infus. Sakit? Ya. Adakalanya polisi menilang. Sakit?
Ya. Adakalanya masalah tidak mudah diselesaikan bahkan tidak bisa diselesaikan.
Sakit? Ya. Jembatan itu manusia karena dia terbatas, dan butuh orang lain. Demi
sebuah pemberdayaan, demi sebuah semangat untuk mengulurkan tangan, tersenyum
dan berbagi hal positif kepada rumpun manusia.
Dia
terlahir dari energi tak terbatas
Siang memberikan syarat terakhir bahwa
pahlawan harus memiliki energi yang tidak terbatas. Tugas pahlawan adalah
membantu orang dan untuk membantu orang, pahlawan membutuhkan energi. Energi
tersebut harus selalu ada, setidaknya tidak pernah habis. Mungkin pahlawan
membutuhkan semacam jimat yang memulihkan dari luka dan kelelahan. Apalah arti
seorang pahlawan tanpa energi. Dia akan kehilangan identitasnya sebagai
pahlawan.
Tidak pernah mudah pahlawan menemukan
sumber energinya. Materi manusianya memberikan batasan yang luar biasa. Batasan
yang menjadi sumber putus asa, rasa marah, rasa kesal, rasa tak berdaya, dll.
Batasan ini yang selalu ingin dihapuskan oleh setiap manusia sehingga kehidupan
bisa berjalan dengan harapannya. Batasan ini akan berbenturan dengan energi. Otot,
pikiran dan segala yang ada pada manusia hanya dapat menampung sepersekian
kecil dari energi yang sesungguhnya. Dapatkan manusia berenang puluhan kilo
dalam sekali percobaan? Dapatkah manusia berlari puluhan kilo tanpa berhenti?
Dapatkah manusia menatap matahari secara langsung? Dapatkah manusia bernafas
dalam air tanpa perlengkapan tabung oksigen dalam jangka waktu yang lama?
Energi seperti apa yang dibutuhkan
seorang pahlawan. Bukan energi yang mudah habis. Energi itu adalah roh yang
menggerakkan untuk tetap hidup. Lihatlah ibu yang sedang melahirkan tanpa
operasi. Atau setidaknya lihatlah mereka yang sakit dan selalu ingin sembuh
sehingga bisa melakukan banyak hal. Sebuah energi yang memberikan daya pun di
saat energi dalam diri telah habis. Pahlawan harus datang pada momen kelahirannya
di mana pahlawan berjumpa pertama kali dengan kehidupan. Energi kehidupan
itulah yang terus mengalir di balik gumpalan darah, aliran listrik tubuh,
otot-otot persendian dan kekuatan baja inti dalam diri pahlawan. Energi itu
mengalir dari sumber yang tidak pernah kering, Sang Kehidupan, Allah itu
sendiri. Sumber energi yang tidak habis oleh ruang dan waktu. Itulah kelahiran
seorang pahlawan, mengalir dari Sang Empunya Kehidupan sendiri.
Pahlawan:
dilahirkan dalam keakraban
Pahlawan tidak pernah berkisah tentang
siapa yang kuat dan lemah. Bahwa orang tua yang mampu mendidik adalah seorang
pahlawan, sementara orang tua yang tidak mampu mendidik dengan baik bukanlah
seorang pahlawan. Bukan pula soal tentang siapa yang menang dan kalah. Bahwa
mereka yang mampu memenangkan pertandingan kehidupan atau mengalahkan musuh
kehidupan disebut-sebut sebagai pahlawan. Pahlawan juga tidak pernah berkisah
tentang hidup yang senang dan tidak senang. Bahwa setiap orang yang mengambil
pilihan hidup tidak menyenangkan adalah seorang pahlawan.
Pahlawan adalah kisah tentang kelahiran
dalam keakraban. Akrab dengan dirinya sendiri, tidak untuk hal baik saja tetapi
juga untuk yang paling menyakitnya. Ketika seorang berdamai dengan dirinya
sendiri dan mampu menemukan sesuatu yang positif dalam dirinya, di situlah akan
lahir cikal bakal seorang pahlawan. Akrab dengan materinya, sesama manusia.
tidak hanya untuk hal baik yang menguntungkan diri sendiri tetapi juga saat mau
menyusahkan diri sendiri bersama dengan sesamanya. Ketika seorang berani
berdamai dengan orang yang paling dibencinya, di situlah akan lahir cikal bakal
seorang pahlawan. Akrab dengan sumber energinya. Batasan absolut dalam diri dan
dalam sesama akan menyadarkan untuk kembali pada sumber yang tidak pernah habis.
Ketika seorang berdamai dengan Sumber Energinya dan berpartisipasi menyalurkan
energy-Nya, di situlah akan lahir cikal bakal seorang pahlawan.
Pahlawan tidak pernah dijadikan
layaknya barang pabrik, dicetak begitu saja dalam sebuah kesempurnaan tanpa cacat.
Yang demikian adalah produk dan bukan pahlawan. Pahlawan selalu dilahirkan,
artinya buah dari sebuah proses yang panjang terkait dengan diri, sesama,
ciptaan dan Allah. Pahlawan bukan produk yang sekali jadi tanpa cacat. Pahlawan
itu cacat, kotor, dekil, jorok dan jauh dari kesempurnaan. Namun, dia mau
membagikan energinya bagi yang hidup, entah itu cacat atau tidak, kotor atau
tidak, dekil atau tidak, jorok atau tidak dan sempurna atau tidak.
***
Yang pertama terus menatap sahabatnya.
Yang kedua masih terkulai. Yang pertama menghantarkan yang kedua pulang ke
rumah. Yang kedua dihantarkan pulang. Yang pertama membersihkan luka yang yang
kedua. Yang kedua dibersihkan lukanya sambil mengerang kesakitan. Yang pertama
menceritakan mengapa yang kedua terluka kepada ibundanya. Yang kedua
mendengarkan cerita yang pertama. Yang pertama berpamitan. Yang kedua, “terima
kasih sahabat, pahlawan!”. Yang pertama berbisik di telinga yang kedua,
“pahlawan tidak selalu tentang memberi pertolongan, tetapi juga ketika berani
mengucapkan terima kasih dan mau menerima ucapan itu dengan syukur. Bukankah
begitu sahabatku, pahlawan!?”
Sebab kamu menerima bukan roh
perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, melainkan Roh yang menjadikan
kamu anak Allah. (Rm 8: 15)
Fr.
Ambrosius Lolong
Seminari
Tinggi St. Paulus
Kentungan,
Yogyakarta
Minggu,
31 Mei 2015
Hari
Raya Tritunggal Mahakudus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar