Minggu, 31 Mei 2015

Pahlawan dalam Relasi Keakraban




Bukan hanya tentang memberi, tetapi juga tentang menerima dengan penuh rasa syukur


Untuk yang dirayakan hari ini
Sang Sumber Energi yang tidak akan pernah kering


Dua orang bersahabat sejak kecil. Mereka biasa pergi bermain bersama-sama, juga bersama dengan teman yang lain. Hanya saja, mereka berdua ini tampak lebih akrab dibandingkan dengan yang lain. Dalam perjalanan pulang bermain, mereka berdebat tentang tokoh Avengers yang terhebat. Yang pertama berkata, “aku tertarik dengan Hulk, dia kuat dan besar apalagi ketika marah…wow banget deh.” Temannya masih terdiam. Yang pertama melanjutkan, “tapi Iron Man juga hebat, pintar dan punya teknologi yang luat biasa.” Yang kedua masih terdiam dan asik mendengarkan. Tak disangka, yang kedua terjatuh karena tersandung batu. Yang pertama berkata seraya mengulurkan tangan, “makanya, diajak bicara jangan cuma diam dan mendengarkan.” Dia membantu yang kedua untuk berdiri dan berjalan. “aku sudah menemukan pahlawanku” sahut yang kedua, “dia yang mengulurkan tangannya kepadaku ketika aku jatuh dan menuntunku untuk kembali berjalan bersama dengannya.”
***
Aku bosan dengan malam. Wajar saja karena aku manusia yang memiliki rasa bosan, pun untuk sesuatu yang selayaknya aku terima dan tak bisa kuhindari. Setelah sekian lama berbincang dengan malam, terkadang aku juga merindukan sahabat malam, yang hidup berdampingan tetapi tidak pernah bisa bersama dalam satu ruang dan waktu. Mereka akan bersama dalam ruang dan waktu yang berbeda. Sebut saja, siang. Sembari menegak susu hangat pagi hari, aku menantikan kedatangannya yang perlahan. Apalagi kalau bisa menikmati kedatangannya di puncak gunung, itu sungguh luar biasa. Mungkin seperti Buddha ketika mendapatkan pencerahannya.

Bosan dengan malam, aku berbincang dengan siang. Kali ini tentang pahlawan atau mungkin lebih tepatnya kepahlawanan. Lagi-lagi hal yang abstrak tapi perbincangan kami semakin menghangatkan siang. Berbekal secangkir susu yang belum habis, singlet dan sarung yang melekat dan sebentuk kecil kipas angina, kami mulai mencari pahlawan yang kiranya dicari oleh banyak orang. Siang sendiri mulai merasa gerah dan membutuhkan kipas untuk meredam panas dalam dirinya. Katanya gerah dengan situasi dunia yang tanpa pahlawan. Bukan untuk mendinginkan atau memanaskan dunia melainkan untuk menghangatkan dunia, aku dan ciptaan-Nya.


Dia terlahir dari baja terkuat
Siang mengajukan syarat pertama tentang pahlawannya. Dia harus kuat sehingga tidak mudah dikalahkan atau terkalahkan. Setidaknya dia harus tahan sakit. Kepahlawanannya akan dihadapkan dengan rasa sakit yang tidak terkira. Fisik yang harus babak belur, terluka karena pukulan dan tendangan yang tidak pernah dapat diprediksikan datangnya. Siapa mengira kalau seorang tentara di medan perang tidak akan terkena luka tembak? Hanya dewi fortuna saja yang bisa memulangkannya kepada keluarganya dalam keadaan utuh. Siapa mengira kalau para tukang bangunan tidak akan pernah terkena paku, palu atau sakit pada otot-ototnya karena pekerjaan yang melampaui batas kemampuannya? Lagi-lagi dewi fortuna yang terus memberikan pijatan untuk otot-otot tersebut. Siapa mengira kalau para pembersih jalan tidak akan pernah bertempur dengan sengatan sinar matahari? Ya, mereka tidak akan bisa membersihkan jalan jika mereka mengenakan payung. Lagi-lagi dewi fortuna yang akan melapisi kulit mereka dengan sesuatu yang hanya dapat dimengerti oleh mereka.
Masih banyak hal. Harus tahan sakit? Sakit seperti apa? Bukan sembarang sakit yang harus dihadapi oleh seorang pahlawan. Sakit itu tidak bisa dijelaskan, tapi tiba-tiba saja kesesakkan dan kepedihan menjadi selimut diri. Seorang ibu yang melihat anaknya sakit. Seorang guru yang melihat muridnya kesulitan belajar. Seorang dokter yang melihat pasiennya terkapar. Seorang imam yang mendampingi umatnya dalam batas hidupnya. Seorang…seorang…demi seseorang. Siang bilang itu empati. Dia datang ketika pusat dan inti kehidupan seorang pahlawan menggugah, membangkitkan dan menyemarakkan dengan semangat kehidupan itu sendiri.
Harus dikalahkan, kurang lebih begitu idealnya. Tapi apakah pahlawan tidak boleh kalah? Pahlawan bukan tentang jumlah kemenangan yang diperolehnya. Pahlawan adalah tentang jumlah kebangkitan dari keterpurukan yang dialaminya. Bangkit dari tidur tanpa menunda. Bangkit untuk belajar tanpa disuruh. Bangkit untuk membantu tanpa diminta tolong. Boleh kalah, dan pahlawan memang harus kalah. Pahlawan tidak pernah berarti kalau tidak pernah kalah, tidak pernah merasa tidak berguna dan tidak merasa mati dan dimatikan. Bukan oleh orang lain, melainkan oleh dirinya sendiri. Baja seorang pahlawan tidak pernah menyelimuti tubuh pahlawan. Baja itu adalah bahan dasar inti kehidupan pahlawan, hatinya, cara berpikirnya dan komitmennya pada kehidupan yang menghidupkan.

Dia terlahir dari materi terbaik
Siang mengidolakan manusia super yang berasal dari planet Krypton dengan tubuh yang melampaui tubuh manusia. Kebal terhadap senapan dan peluru tapi tidak pernah tahu apakah kebal terhadap santet. Kalau memang tidak mungkin, siang mengidolakan serum yang dipakai Captain America sehingga memiliki tubuh binaragawan dan awet muda. Setidaknya, cukup ideal bukan untuk ukuran pahlawan. Materi yang membungkus inti baja haruslah materi terbaik, setidaknya tidak habis dimakan waktu.
Untuk siapakah pahlawan dihadirkan di dunia?  Segala usaha senantiasa dilakukan tanpa batas. Untuk siapa orang tua bekerja? Untuk siapa dokter bekerja? Untuk siapa pemulung bekerja? Untuk siapa anak jalanan mengais rejeki? Kalau mereka adalah pahlawan, untuk siapakah mereka mengucurkan keringat berulang kali. Hanya untuk satu hal yang luhur, yaitu kehidupan. Dan, kehidupan tidak pernah lepas dari manusia dan jenis kehidupan di sekitarnya. Untuk manusia sebagai pusat kehidupan dunia, seharusnya pahlawan adalah manusia. bukan materi yang sempurna untuk dijadikan seorang pahlawan. Tapi, haruslah pahlawan itu manusia. Dia hadir sebagai manusia, dari seorang manusia, untuk manusia dan bersama dengan manusia.
Terbaik. Adalah sebuah jembatan untuk membagikan kepahlawanan lewat materi manusia, karena bukan sebuah ketergantungan yang hendak dicapai. Bukan keterikatan tanpa tanggung jawab yang mau ditumbuhkan. Bukan pula sebuah relasi tanpa kebebasan yang diharapkan. Ada saatnya dokter menusukkan infus. Sakit? Ya. Adakalanya polisi menilang. Sakit? Ya. Adakalanya masalah tidak mudah diselesaikan bahkan tidak bisa diselesaikan. Sakit? Ya. Jembatan itu manusia karena dia terbatas, dan butuh orang lain. Demi sebuah pemberdayaan, demi sebuah semangat untuk mengulurkan tangan, tersenyum dan berbagi hal positif kepada rumpun manusia.

Dia terlahir dari energi tak terbatas
Siang memberikan syarat terakhir bahwa pahlawan harus memiliki energi yang tidak terbatas. Tugas pahlawan adalah membantu orang dan untuk membantu orang, pahlawan membutuhkan energi. Energi tersebut harus selalu ada, setidaknya tidak pernah habis. Mungkin pahlawan membutuhkan semacam jimat yang memulihkan dari luka dan kelelahan. Apalah arti seorang pahlawan tanpa energi. Dia akan kehilangan identitasnya sebagai pahlawan.
Tidak pernah mudah pahlawan menemukan sumber energinya. Materi manusianya memberikan batasan yang luar biasa. Batasan yang menjadi sumber putus asa, rasa marah, rasa kesal, rasa tak berdaya, dll. Batasan ini yang selalu ingin dihapuskan oleh setiap manusia sehingga kehidupan bisa berjalan dengan harapannya. Batasan ini akan berbenturan dengan energi. Otot, pikiran dan segala yang ada pada manusia hanya dapat menampung sepersekian kecil dari energi yang sesungguhnya. Dapatkan manusia berenang puluhan kilo dalam sekali percobaan? Dapatkah manusia berlari puluhan kilo tanpa berhenti? Dapatkah manusia menatap matahari secara langsung? Dapatkah manusia bernafas dalam air tanpa perlengkapan tabung oksigen dalam jangka waktu yang lama?
Energi seperti apa yang dibutuhkan seorang pahlawan. Bukan energi yang mudah habis. Energi itu adalah roh yang menggerakkan untuk tetap hidup. Lihatlah ibu yang sedang melahirkan tanpa operasi. Atau setidaknya lihatlah mereka yang sakit dan selalu ingin sembuh sehingga bisa melakukan banyak hal. Sebuah energi yang memberikan daya pun di saat energi dalam diri telah habis. Pahlawan harus datang pada momen kelahirannya di mana pahlawan berjumpa pertama kali dengan kehidupan. Energi kehidupan itulah yang terus mengalir di balik gumpalan darah, aliran listrik tubuh, otot-otot persendian dan kekuatan baja inti dalam diri pahlawan. Energi itu mengalir dari sumber yang tidak pernah kering, Sang Kehidupan, Allah itu sendiri. Sumber energi yang tidak habis oleh ruang dan waktu. Itulah kelahiran seorang pahlawan, mengalir dari Sang Empunya Kehidupan sendiri.

Pahlawan: dilahirkan dalam keakraban
Pahlawan tidak pernah berkisah tentang siapa yang kuat dan lemah. Bahwa orang tua yang mampu mendidik adalah seorang pahlawan, sementara orang tua yang tidak mampu mendidik dengan baik bukanlah seorang pahlawan. Bukan pula soal tentang siapa yang menang dan kalah. Bahwa mereka yang mampu memenangkan pertandingan kehidupan atau mengalahkan musuh kehidupan disebut-sebut sebagai pahlawan. Pahlawan juga tidak pernah berkisah tentang hidup yang senang dan tidak senang. Bahwa setiap orang yang mengambil pilihan hidup tidak menyenangkan adalah seorang pahlawan.
Pahlawan adalah kisah tentang kelahiran dalam keakraban. Akrab dengan dirinya sendiri, tidak untuk hal baik saja tetapi juga untuk yang paling menyakitnya. Ketika seorang berdamai dengan dirinya sendiri dan mampu menemukan sesuatu yang positif dalam dirinya, di situlah akan lahir cikal bakal seorang pahlawan. Akrab dengan materinya, sesama manusia. tidak hanya untuk hal baik yang menguntungkan diri sendiri tetapi juga saat mau menyusahkan diri sendiri bersama dengan sesamanya. Ketika seorang berani berdamai dengan orang yang paling dibencinya, di situlah akan lahir cikal bakal seorang pahlawan. Akrab dengan sumber energinya. Batasan absolut dalam diri dan dalam sesama akan menyadarkan untuk kembali pada sumber yang tidak pernah habis. Ketika seorang berdamai dengan Sumber Energinya dan berpartisipasi menyalurkan energy-Nya, di situlah akan lahir cikal bakal seorang pahlawan.
Pahlawan tidak pernah dijadikan layaknya barang pabrik, dicetak begitu saja dalam sebuah kesempurnaan tanpa cacat. Yang demikian adalah produk dan bukan pahlawan. Pahlawan selalu dilahirkan, artinya buah dari sebuah proses yang panjang terkait dengan diri, sesama, ciptaan dan Allah. Pahlawan bukan produk yang sekali jadi tanpa cacat. Pahlawan itu cacat, kotor, dekil, jorok dan jauh dari kesempurnaan. Namun, dia mau membagikan energinya bagi yang hidup, entah itu cacat atau tidak, kotor atau tidak, dekil atau tidak, jorok atau tidak dan sempurna atau tidak.
***
Yang pertama terus menatap sahabatnya. Yang kedua masih terkulai. Yang pertama menghantarkan yang kedua pulang ke rumah. Yang kedua dihantarkan pulang. Yang pertama membersihkan luka yang yang kedua. Yang kedua dibersihkan lukanya sambil mengerang kesakitan. Yang pertama menceritakan mengapa yang kedua terluka kepada ibundanya. Yang kedua mendengarkan cerita yang pertama. Yang pertama berpamitan. Yang kedua, “terima kasih sahabat, pahlawan!”. Yang pertama berbisik di telinga yang kedua, “pahlawan tidak selalu tentang memberi pertolongan, tetapi juga ketika berani mengucapkan terima kasih dan mau menerima ucapan itu dengan syukur. Bukankah begitu sahabatku, pahlawan!?”


Sebab kamu menerima bukan roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, melainkan Roh yang menjadikan kamu anak Allah. (Rm 8: 15)

Fr. Ambrosius Lolong
Seminari Tinggi St. Paulus
Kentungan, Yogyakarta

Minggu, 31 Mei 2015
Hari Raya Tritunggal Mahakudus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar