Memaknai Panggilan
Hidup dari Nama
Dari
buku Kegilaan Orang-Orang Galilea
Liburan kali ini,
saya menyelesaikan salah satu buku rohani yang sederhana. Judul buku ini adalah
Kegilaan Orang-Orang Galilea. Buku ini ditulis oleh RP. Surip Stanislaus OFMCap
dan diterbitkan oleh penerbit Kanisius. Tentang buku ini, Penulis pada awalnya
menceritakan tentang beberapa daerah penting dalam pewartaan Yesus. Pada bagian
kedua, penulis secara khusus menjelaskan pribadi, arti nama dan karya para
murid Yesus. Tidak hanya itu, penulis juga memberikan beberapa pertanyaan reflektif
yang cukup relevan pada setiap akhir pembahasan tokoh para murid Yesus.
Satu hal yang
menarik bagi saya dari buku ini adalah nama, baik nama tempat maupun nama
orang. Nama merupakan suatu hal yang sederhana. Nama menjadi penanda akan suatu
hal, baik tempat, benda maupun pribadi seseorang. Tanpa nama, tak satu orang
pun bisa mampu mengerti dan memilah karena “keseragaman”nya. Nama membantu
setiap orang untuk tahu secara persis akan suatu hal yang dihadapkan kepadanya.
Nama memberikan spesifikasi yang tepat untuk setiap benda, tempat dan pribadi
seseorang.
Tentang nama ini,
saya teringat dengan nama beberapa tempat yang unik. Sebagai contoh, Pasar
Minggu merupakan nama tempat yang ada di daerah Jakarta Selatan. Menurut
cerita, nama Pasar Minggu ada karena pada jaman dulu, orang-orang sering
berkumpul di lokasi itu untuk melakukan transaksi layaknya sebuah pasar. Namun,
kegiatan ini hanya terjadi pada hari Minggu. Oleh karena itu, tempat itu
dinamakan Pasar Minggu. Beberapa tempat pun demikian. Nama diberikan kepada
suatu tempat menurut kebiasaan atau keunikan yang terjadi di tempat itu.
Hal ini berbeda
dengan nama untuk setiap pribadi. Seseorang tidak mendapatkan nama karena
keunikannya, kecuali julukan tertentu. Pada dasarnya, setiap orang mendapatkan
namanya ketika mereka lahir. Nama tersebut diberikan oleh orang-orang yang
mencintainya. Nama yang diberikan bukanlah sekadar nama. Nama bukan sekadar
label penanda bahwa saya berbeda dengan orang lain. Di balik nama, ada suatu
harapan yang disematkan ke dalam hidup sang anak.
Sebagai contoh,
saya tertarik dengan penjelasan nama cucu kedua presiden. Nama cucunya adalah
Airlangga Satriadhi Yudhoyono. Orang tua yang memberikan namanya, Ibas,
menjelaskan bahwa dengan nama ini, dia menginginkan agar anaknya seperti tokoh
Airlangga yang memiliki semangat juang tinggi. Satriadhi, dengan nama ini, Ibas
ingin agar anaknya memiliki jiwa ksatria yang baik. Yudhoyono, seperti nama
kakeknya, Ibas mengharapkan agar anaknya tetap berani menghadapi tantangan.
Namun, apakah
nama hanya sebuah harapan orang lain akan diri anaknya? Setiap nama memiliki
arti dan kita dapat bertanya kepada orang tua mengapa mereka memberikan nama
itu. Apakah yang hendak diinginkannya dengan nama tersebut? Karena sangat kecil
kemungkinannya orang tua memberikan nama tanpa sebuah arti dan harapan. Berangkat
dari kegelisahan ini, saya menemukan sesuatu yang menurut saya lebih dari
sekadar harapan dan arti. Bagi saya, nama mengandung suatu makna panggilan
hidup yang diberikan Tuhan.
Demikian yang
terjadi pada diri Santo Petrus. Petrus berarti batu karang. Mengapa batu
karang? Batu karang itu kuat dan kokoh untuk menjadi sebuah dasar. Lalu apakah
Yesus memilih Petrus hanya karena namanya itu? Menurut saya, tidak. Nama Petrus
telah menjadi panggilan Tuhan yang sudah ada dalam dirinya sejak lahir. Bagi
saya, pertanyaannya adalah bagaimana memaknai nama sebagai panggilan Tuhan? Dalam
permenungan, saya menemukan bahwa nama tidak lepas dari pengalaman hidup
sehari-hari. Jejak hidup keseharian secara tidak sadar membentuk pribadi orang
seturut namanya. Pengalaman Petrus bersama Yesus bukanlah suatu hidup bersama
sebagai komunitas semata. Jauh lebih dari itu, Petrus sedang dibentuk Yesus
seturut namanya. “Apakah engkau mengasihi Aku?” dan Petrus menjawab “benar
Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau”. Dialog ini singkat namun
seakan merangkum segala pengalaman Petrus. Dan, di sinilah panggilan hidup
Petrus menjadi jelas, “gembalakanlah domba-domba-Ku” kata Yesus.
Pengalaman yang
sama dialami oleh para murid lainnya. Dengan demikian, pengalaman yang sama
juga terjadi dalam hidup kita sehari-hari. Setiap harinya, kita diajak untuk
menemukan jejak-jejak panggilan Tuhan untuk diri kita. Hal ini sudah dimulai
sejak kita lahir dan disematkan pada hal yang sederhana, yaitu nama.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita menemukan makna panggilan yang sudah ada
ini dan kemudian menghidupinya sebagai suatu kekayaan rohani?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar