Kamis, 14 Maret 2013

mencari Panggilan Hidup



Memaknai Panggilan Hidup dari Nama
Dari buku Kegilaan Orang-Orang Galilea


Liburan kali ini, saya menyelesaikan salah satu buku rohani yang sederhana. Judul buku ini adalah Kegilaan Orang-Orang Galilea. Buku ini ditulis oleh RP. Surip Stanislaus OFMCap dan diterbitkan oleh penerbit Kanisius. Tentang buku ini, Penulis pada awalnya menceritakan tentang beberapa daerah penting dalam pewartaan Yesus. Pada bagian kedua, penulis secara khusus menjelaskan pribadi, arti nama dan karya para murid Yesus. Tidak hanya itu, penulis juga memberikan beberapa pertanyaan reflektif yang cukup relevan pada setiap akhir pembahasan tokoh para murid Yesus.
Satu hal yang menarik bagi saya dari buku ini adalah nama, baik nama tempat maupun nama orang. Nama merupakan suatu hal yang sederhana. Nama menjadi penanda akan suatu hal, baik tempat, benda maupun pribadi seseorang. Tanpa nama, tak satu orang pun bisa mampu mengerti dan memilah karena “keseragaman”nya. Nama membantu setiap orang untuk tahu secara persis akan suatu hal yang dihadapkan kepadanya. Nama memberikan spesifikasi yang tepat untuk setiap benda, tempat dan pribadi seseorang.

Tentang nama ini, saya teringat dengan nama beberapa tempat yang unik. Sebagai contoh, Pasar Minggu merupakan nama tempat yang ada di daerah Jakarta Selatan. Menurut cerita, nama Pasar Minggu ada karena pada jaman dulu, orang-orang sering berkumpul di lokasi itu untuk melakukan transaksi layaknya sebuah pasar. Namun, kegiatan ini hanya terjadi pada hari Minggu. Oleh karena itu, tempat itu dinamakan Pasar Minggu. Beberapa tempat pun demikian. Nama diberikan kepada suatu tempat menurut kebiasaan atau keunikan yang terjadi di tempat itu.
Hal ini berbeda dengan nama untuk setiap pribadi. Seseorang tidak mendapatkan nama karena keunikannya, kecuali julukan tertentu. Pada dasarnya, setiap orang mendapatkan namanya ketika mereka lahir. Nama tersebut diberikan oleh orang-orang yang mencintainya. Nama yang diberikan bukanlah sekadar nama. Nama bukan sekadar label penanda bahwa saya berbeda dengan orang lain. Di balik nama, ada suatu harapan yang disematkan ke dalam hidup sang anak.
Sebagai contoh, saya tertarik dengan penjelasan nama cucu kedua presiden. Nama cucunya adalah Airlangga Satriadhi Yudhoyono. Orang tua yang memberikan namanya, Ibas, menjelaskan bahwa dengan nama ini, dia menginginkan agar anaknya seperti tokoh Airlangga yang memiliki semangat juang tinggi. Satriadhi, dengan nama ini, Ibas ingin agar anaknya memiliki jiwa ksatria yang baik. Yudhoyono, seperti nama kakeknya, Ibas mengharapkan agar anaknya tetap berani menghadapi tantangan.
Namun, apakah nama hanya sebuah harapan orang lain akan diri anaknya? Setiap nama memiliki arti dan kita dapat bertanya kepada orang tua mengapa mereka memberikan nama itu. Apakah yang hendak diinginkannya dengan nama tersebut? Karena sangat kecil kemungkinannya orang tua memberikan nama tanpa sebuah arti dan harapan. Berangkat dari kegelisahan ini, saya menemukan sesuatu yang menurut saya lebih dari sekadar harapan dan arti. Bagi saya, nama mengandung suatu makna panggilan hidup yang diberikan Tuhan.
Demikian yang terjadi pada diri Santo Petrus. Petrus berarti batu karang. Mengapa batu karang? Batu karang itu kuat dan kokoh untuk menjadi sebuah dasar. Lalu apakah Yesus memilih Petrus hanya karena namanya itu? Menurut saya, tidak. Nama Petrus telah menjadi panggilan Tuhan yang sudah ada dalam dirinya sejak lahir. Bagi saya, pertanyaannya adalah bagaimana memaknai nama sebagai panggilan Tuhan? Dalam permenungan, saya menemukan bahwa nama tidak lepas dari pengalaman hidup sehari-hari. Jejak hidup keseharian secara tidak sadar membentuk pribadi orang seturut namanya. Pengalaman Petrus bersama Yesus bukanlah suatu hidup bersama sebagai komunitas semata. Jauh lebih dari itu, Petrus sedang dibentuk Yesus seturut namanya. “Apakah engkau mengasihi Aku?” dan Petrus menjawab “benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau”. Dialog ini singkat namun seakan merangkum segala pengalaman Petrus. Dan, di sinilah panggilan hidup Petrus menjadi jelas, “gembalakanlah domba-domba-Ku” kata Yesus.
Pengalaman yang sama dialami oleh para murid lainnya. Dengan demikian, pengalaman yang sama juga terjadi dalam hidup kita sehari-hari. Setiap harinya, kita diajak untuk menemukan jejak-jejak panggilan Tuhan untuk diri kita. Hal ini sudah dimulai sejak kita lahir dan disematkan pada hal yang sederhana, yaitu nama. Pertanyaannya adalah bagaimana kita menemukan makna panggilan yang sudah ada ini dan kemudian menghidupinya sebagai suatu kekayaan rohani?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar