Minggu, 10 Maret 2013

Solidaritas dan Para Kudus



Persekutuan Para Kudus dan Etika Solidaritas

Amerika merupakan salah satu negara besar yang mempengaruhi dunia saat ini. Namun, bagaimana Amerika bisa mencapai pada masa “keemasan’ ini merupakan suatu jalan panjang yang harus dilalui. Setelah mencapai kemerdekaannya, Amerika berusaha membangun negara yang baik. Penulis mengatakan bahwa jika ingin menjadi seorang Amerika haruss menjadi sesuatu yang “baru”. Baru di sini menunjuk pada idea, prinsip, dan opini yang baru. Lincoln bersikeras bahwa kehidupan harus didedikasikan untuk pekerjaan yang belum terselesaikan di mana mereka yang berjuang tetap dimajukan. Dia juga berpendapat bahwa dalam keyakinannya akan masa depan, kehidupan harus menentukan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian, usaha yang ingin dibangun sejak awal adalah menbentuk suatu komunitas di tengah kehidupan manusia.

Tradisi, Komunitas dan Persekutuan Para Kudus
Tentang kehidupan berkomunitas, Gereja Katolik memiliki tradisi yang kuat perihal ini. Orang Kristiani sejak awal sudah hidup dalam suatu ikatan kebersamaan. Tidak hanya itu, ketika iman kepercayaan Kristiani menyatakan Gereja sebagai satu, kudus, katolik dan apostolik, apa yang diucapkan, menyatakan bahwa ada suatu hubungan antara kesatuan, universalitas, kekudusan hal-hal yang melampaui keduniawian. Dalam arti ini, komunitas Kristiani dalam tradisinya juga mengikut serta umat beriman yang sudah meninggal. Orang yang sudah meninggal merupakan bagian dari komunitas Kristiani. Begitu pula dengan mereka yang belum dilahirkan. Persekutuan inilah yang disebut dengan persekutuan para kudus.
Persekutuan umat beriman ini didasarkan pada pribadi dan karya Kristus. Persekutuan kita dengan satu dan yang lain merupakan suatu pengalaman persekutuan dengan Allah dalam Kristus. Persekutuan ini, berbagi dalam hidup, menjadi persatuan kita dengan Allah dan karena itu sumber kekudusan. Kesatuan yang diterima lewat persatuan dengan Allah menjadikan persatuan dan kekudusan sebagai hal yang terhubung erat dengan kehidupan Kristiani. Ciri kehidupan Kristiani ini ditegaskan kembali dalam Lumen Gentium (1,1) yang menyatakan bahwa oleh relasinya dengan Kristus, Gereja merupakan tanda atau sakramen persatuan yang intim dengan Allah dan persatuan dengan segenap manusia.
Berdasarkan pernyataan dalam Lumen Gentium di atas, Gereja memiliki dua peran penting. Pertama, Gereja menjadi tanda persatuan dengan Allah. Di sini, tugas Gereja adalah menjalankan misi pengudusan. Kedua, Gereja menjadi tanda persatuan dengan manusia. Di sini, tugas Gereja berkaitan dengan misi sosial. Tentang tugas Gereja yang pertama tidak terlalu banyak dibahas. Penulis lebih membahas tugas Gereja yang kedua. Oleh karena itu, pertanyaan selanjutnya adalah siapa sesama kita di mana kita menyatakan diri sebagai komunio?
Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan yang ada pada Lukas 10:29 dalam kisah Orang Samaria yang baik hati. Lewat kisah tersebut, Yesus berusaha menunjukkan kekhasan pandangan Kristiani terhadap “siapa sesamaku”. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengetahui mereka yang dipandang sebagai sesama. Namun, arti sesama tidak hanya mereka yang dianggap asing, melainkan musuh, dan mereka yang memiliki perbedaan ras dan religius. Pada jaman Paulus, hal ini menjadi nyata bahwa dalam pembaptisan tidak ada lagi orang Yahudi atau Yunani, budak atau orang merdeka, pria atau wanita (Gal 3:28). Pada akhirnya, kesatuan dalam kehidupan Kristiani, yang bersumber pada kekudusan, adalah katolik (umum), universal, tidak terikat.

Tubuh Mistik, Pemikiran Sosial dan Praktek Persekutuan
Doktrin persekutuan para kudus berarti bahwa ras, nasionalitas, kelas, gender, juga termasuk ruang dan waktu, ditempatkan tanpa batasan dalam kehidupan bersama. Gambaran ini merupakan metafora dalam eklesiologi Katolik di mana Gereja merupakan tubuh mistik Kristus. Maksudnya, setiap anggota Gereja memerlukan suatu hubungan dinamis dengan Kristus dan umat beriman lainnya. Namun, ketika berhadapan dengan situasi sosial konkret, titik refleksinya adalah bagaimana relasi dalam tubuh mistik Kristus ini dapat menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang benediktin Amerika, Virgil Michel, berpendapat bahwa relasi intim dalam Kristus merupakan suatu rahmat untuk berpartisipasi dalam usaha pengembangan hidup kemanusiaan. Persekutuan para kudus menjadi motivasi bagi kaum beriman untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Mereka harus berpartisipasi sebagai pemberi sejak mereka bersatu dan menerima rahmat dalam Kristus. Dengan kata lain, mereka mengambil bagian dalam karya Kristus dan sekaligus menjadi cerminan kehadiran Allah.
Sikap murah hati dan saling membutuhkan yang menandaikan persekutuan para kudus merupakan sikap yang dibutuhkan oleh setiap anggotan tubuh mistik. Sebaliknya, sikap-sikap yang menunjukkan keterpisahan dari persekutuan para kudus mengurangi hubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, memutuskan hubungan dalam masyarakat atau menarik diri merupakan kerugian paling serius dalam kehidupan manusia. Manusia, pada dasarnya, memiliki tanggung jawab untuk mengambil bagian dalam usaha untuk memperkenalkan kebutuhan spiritual dan material kepada orang lain. Konsep tubuh mistik ini tentunya mengingatkan setiap anggotanya bahwa setiap individu memiliki relasi dengan sesamanya dan bertanggung jawab bersama mengembangkan kehidupan manusia.
Sebagai ilustrasi sebelum melangkah lebih jauh, dalam perkembangan kepribadiannya, manusia tidak terlepas dari keberadaan masyarakat. Proses kedewasaan yang dialami manusia dipengaruhi dengan siapa manusia berelasi dan mengembangkan nilai-nilai. Dengan siapa mereka berhadapan, pada saat itulah manusia menanamkan suatu nilai di dalam dirinya. Hal yang sama juga terjadi dalam persekutuan para kudus. Solidaritas mendapatkan tempat yang penting dalam persekutuan itu dan nilai ini senantiasa dikembangkan dan dipelihara sehingga memiliki sifat formatif untuk mengembangkan kualitas karakter moral.
Usaha menemukan praktek komunal yang mengikat orang merupakan suatu hal yang vital untuk mengembangkan solidaritas di antara orang-orang. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh paroki-paroki. Sebagai contoh, hubungan kerjasama paroki antara paroki kota dengan paroki pinggiran/desa, adopsi anak-anak paroki di tanah asing, proyek ekumenis yang membawa berbagai budaya religius bersama, usaha meningkatkan keuangan dan perhatian dalam pelayanan dan kampanye untuk pengembangan manusia. Ini merupakan beberapa hal yang bisa dilakukan bersama dan masih banyak kegiatan yang bisa diadakan dalam rangka meningkatkan solidaritas.

Latar Belakang untuk Pemikiran Sosial Gereja Katolik
Ketika Gereja berusaha memelihara solidaritas, ini memberikan ekpresi yang mendalam tentang kodrat hidup manusia, kodrat Gereja dan peran Gereja di tengah masyarakat. Gaudium et Spes menegaskan kembali pernyataan yang sudah ada pada Lumen Gentium tentang Gereja sebagai persekutuan umat manusia. Gaudium et Spes artikel 42 menyatakan “sebab pengembangan kesatuan selaras dengan misi Gereja yang paling dalam, karena Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia”. Dengan ini, Gereja ingin menyatakan bahwa usaha Gereha bukan suatu misi politis tetapi pelayanan suatu misi religius.
Pada bagian awal Gaudium et Spes bagian kedua, artikel 23-29, ada suatu penghubung yang mendasarkan pemikiran sosial Gereja tentang masyarakat. Dijelaskan pada bahwa, didasarkan pada penciptaan manusia sebagai citra Allah, ini menyatakan rencana Allah tentang kemanusiaan. Kemanusiaan harus dibentuk menjadi satu keluarga dan memperlakukan satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan. Di sini, Gereja ingin menyampaikan bahwa kodrat sosial dalam diri manusia merupakan suatu elemen penting yang perlu dikembangkan bersama. Oleh karena itu, penyatuan segenap manusia dan kelompok dalam mengusahakan kebaikan bersama merupakan suatu tanggung jawab moral.
Penghormatan terhadap martabat manusia menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Dalam visi teologis tentang kemanusiaan, Gereja menunjukkan bahwa persekutuan para kudus sebagai suatu pernyataan teologis mempunyai peran dalam prinsip etis solidaritas. Dalam kehidupan berkomunitas, gambaran solidaritas menjadi lebih kelihatan. Dalam komunitas, solidaritas tidak hanya sekadar dilihat sebagai suatu hubungan biasa di antara para anggota komunitas. Lebih dalam dari itu, solidaritas mengandung unsur atau nilai, seperti praktek pengampunan, perhormatan dan respek serta cinta. Nilai ini memang tampak abstrak bila dijelaskan dengan berbagai konsep dan bahasa namun nilai tersebut dalam dirasakan seara nyata dalam kehidupan berkomunitas dalam semangat solidaritas. Martabat manusia dapat menjadi nyata dan dijaga hanya dalam komunitas.
Gambaran komunitas ini menjadi semangat dalam pemikiran sosial Gereja. Di sini, ajaran Gereja menyatakan komitmennya untuk komunitas di mana pengalaman berkomunitas diwujudnyatakan lewat institusi sosial dan praktek solidaritas.

Solidaritas dan Interdependensi
Pendapat umum sekarang ini menyatakan bahwa kita hidup dalam suatu dunia yang saling tergantung. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Ketika interdependensi berhadapan berada dalam konteks solidaritas, ada begitu banyak tantangan dan hambatan dalam praktek kesehariannya.
Sebagai contoh adalah penggunaan mobil pribadi yang meningkat dan memenuhi jalan. Hal ini tentu saja menjadi tantangan dalam membangun solidaritas di tengah masyarakat. Orang lebih peduli dengan dirinya dan kurang memberikan perhatian dengan sesama. Kemakmuran sering bergantung pada keuangan publik dalam berbagai bentuk. Selain itu, ada kecenderungan untuk kurang memperhatikan kehidupan public dalam skala besar. Dewasa ini, orang yang “makmur” memilih tinggal dalam suatu residensial khusus yang dijaga oleh petugas keamanan, ada pengumpul sampahnya, perawatan jalan berkala. Bahkan, tidak jarang orang lebih senang menyekolahkan anaknya secara privat. Di balik itu, mungkin, kebencian terhadap perpajakan juga bisa menjadi pemicu seseorang untuk menarik diri dari komunitas. Namun, semua praktek ini mengakibatkan keterpecahan masyarakat dan kehilangan solidaritas.
Setiap orang pasti menyadari bahwa hubungan dengan orang lain merupakan suatu hal yang penting. Kesaling-tergantungan ini menjadi sesuatu yang penting untuk kehidupan manusia. Manusia dalam meningkatkan dan mengembangkan dimensi dari kehidupan manusiawinya. Namun, berbagai praktek penarikkan diri dari kehidupan berkomunitas, dengan sukses, telah mengisolasi hubungan saling tergantung ini. Bahkan, sikap tersebut semakin menarik jarak dengan kaum miskin dan marginal. Dalam situasi ini, ajaran sosial Katolik tentang solidaritas mengakui bahwa daya tarik interdependensi mungkin tidak didengar oleh semua orang. Klaim solidaritas tidak ditunjukkan dengan mudah sebagai suatu pengakuan jelas terhadap interdependensi tetapi sebagai suatu tanggung jawab moral yang dibangun atas dasar kesatuan manusia sebagai sebuah keluarga.
Namun, dalam kaitan solidaritas dengan interdependensi, keduanya harus dibedakan. Ada perbedaan antara keduanya dalam pandangan Gereja Katolik. Gereja berpandangan bahwa argumen untuk moral yang didasarkan pada interdependensi telah mengurangi makna solidaritas. Dalam argumen tersebut, solidaritas hanya dipandang tidak lebih dari sesuatu yang memperkuat kepentingan pribadi. Gereja ingin menekankan bahwa solidaritas merupakan suatu keutamaan. Ini membutuhkan perubahan pandangan, hati dan kehendak. Kepentingan pribadi diselaraskan dengan kepentingan bersama sehingga tercipta keharmonisan antara keduanya. Solidaritas harus menjadi pilihan bagi setiap orang yang berusaha meningkatkan kebaikan. Dengan demikian, Gereja ingin menunjukkan bahwa usaha mewujudkan kebaikan bersama tidak berasal dari kepentingan pribadi melainkan berdasar pada klaim teologis tentang persatuan keluarga manusia dan tanggung jawab moral yang ada dalam persekutuan setiap pribadi.

Solidaritas dan Keadilan
Puncak keberhasilan yang nampak dari solidaritas adalah membangun masyarakat yang cenderung untuk hidup inklusif daripada hidup secara ekslusif. Dalam konteks ini, marginalisasi merupakan musuh nyata dari solidaritas. Berhadapan dengan kasus ini, Gereja Katolik memilih berpihak kepada kaum miskin. Keberpihakan terhadap kaum miskin ini menjadi pusat ajaran sosial Gereja dalam usaha membangun keadilan. Pilihan terhadap kaum miskin dalam konteks solidaritas memerlukan suatu usaha keras dalam mendukung aksi-aksi yang mempromosikan suatu pengurangan marginalisasi.
Solidaritas telah memberikan penekanan baru untuk menghubungkan antara keadilan dan komunitas yang berpartisipasi. Karena visi solidaritas ini, ajaran sosial Katolik memperhatikan kemampuan pribadi untuk membangun suatu hubungan dengan yang lain. Dalam hal usaha membangun keadilan, partisipasi merupakan suatu yang penting untuk mengembangkan kehidupan bersama. Penekanan atas sikap partisipatif ini merupakan kunci untuk mengerti arti keadilan dalam masyarakat modern. Hal ini penting karena masyarakat modern kurang ikut ambil bagian dalam usaha membangun kehidupan bersama, seolah-olah mereka bukan anggota dari umat manusia.
Ajaran sosial Gereja tentang keadilan dibentuk dalam suatu etika solidaritas. Penting bahwa dalam solidaritas, kualitas relatif merupakan ekspresi normatif dari visi teologis terhadap solidaritas. Kata relatif berarti bahwa kualitas tujuan yang ingin dicapai tidak mutlak, suatu level di mana setiap orang mendapat keuntungan yang sama dan membagikan beban yang sama. Ide dibalik kualitas relatif ini yaitu bahwa kesenjangan terjadi karena dipengaruhi keterbatasan moral. Batasan dan perbedaan ini menjadi tempat bagi solidaritas sehingga persatuan sebagai umat manusia dapat ditingkatkan. Kesenjangan yang terjadi inilah yang menjadi wujud dari ketidakadilan. Oleh karena itu, Gereja memberikan perhatian akan kesenjangan ini karena Gereja senantiasa berpegang pada visi komunitasnya.

Pertanyaan Baru untuk Pemikiran Sosial Gereja Katolik
Paus Leo XIII menulis Rerum Novarum dalam kesadaran akan kondisi para pekerja dan diangkat menjadi pertanyaan sosial pada masa itu. Selanjutnya, Pius XII juga menulis dari perspektif pertanyaan sosial yang baru pada masa Perang Dunia II. Untuk sekarang ini, ketidaksetaraan menjadi perhatian sosial dari Gereja.
Raymond Flynn menunjukkan fakta yang terjadi di Amerika akibat perang teluk. Dia menuliskan bahwa 33 juta orang Amerika hidup di bawah garis kemiskinan. Anak-anak harus hidup dalam situasi miskin. Dalam hal ini, orang yang sudah miskin menjadi semakin miskin dan hidup dalam kesulitan. Ironisnya, orang yang kaya justru menjadi semakin kaya. Kesenjangan antara kedua kaum ini menjadi semakin jauh. Flynn menambahkan bahwa salah satu masalah sosial yang muncul adalah tempat tinggal. Banyak orang Amerika kehilangan tempat tinggal. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya apartemen. Sementara rumah mereka digusur, mereka tidak mampu untuk membiayai hidup dalam apartemen.
Di antara itu semua, anak-anak merupakan korban yang paling menderita. Anak-anak adalah kaum paling miskin dari populasi manusia. Anak-anak miskin begitu menderita. Mereka merupakan orang muda yang memulai hidupnya dengan kehilangan kebutuhan dasar yang dibutuhkan dalam perkembangan mereka. Tidak jarang juga, ada begitu banyak kasus anak remaja melakukan tindak bunuh diri. Selain itu, tidak jarang pula kasus remaja hamil di luar pernikahan. Oleh karena itu, perhatian diberikan secara khusus kepada anak-anak ini.
Segala upaya dan perhatian terhadap anak-anak tumbuh atas kesadaran bahwa anak-anak merupakan generasi baru di mana segala harapan ada pada diri mereka. Namun, dalam situasi kesenjangan ini, anak-anak menjadi kaum yang sangat miskin dan termarginalisasi. Dengan situasi ini, kita sedang membangung generasi yang tidak hanya sebagai pengangguran tetapi generasi yang tidak berguna, tidak hanya miskin pendidikan tetapi juga buta akan informasi dasar kemasyarakatan, tidak hanya marah tetapi asosial dan tanpa pegangan moral.
Hal ini tidak hanya terjadi di Amerika. Dampak kesenjangan ini tidak hanya terasa pada suatu ruang lingkup lokal tertentu tetapi juga memberikan dampak global. Jutaan anak meninggal setiap tahun karena kemiskinan, kelaparan dan penyakit. Tujuh juta anak tinggal di kamp pengungsian dan sebagian besar tidak memiliki tempat tinggal sebagai dampak peperangan. Di banyak negara, anak-anak juga dijadikan sebagai buruh. Lebih dari itu, nasib burah anak ini sangat mengenaskan. Mereka berada dalam kondisi yang memprihatinkan, gaji yang penuh skandal dan kondisi fisik yang berbahaya. UNICEF juga menunjukkan bahwa banyak anak berada dalam “situasi yang sangat sulit”. Mereka berada dalam lingkup kriminal, kemelaratan dan prostitusi hanya untuk bertahan hidup.
Berhadapan dengan situasi ini, para uskup Amerika menyadari bahwa kesenjangan yang terjadi di tengah masyarakat memberikan dampak yang buruk dalam perkembangan dunia. Ketidakpedulian sosial dan marginalisasi semakin marak terjadi di tengah kehidupan manusia. Hal ini tidak hanya terjadi di Amerika tetapi juga terjadi di seluruh dunia. Marginalisasi menjadikan kaum miskin semakin menderita dan kaum berpunya semakin meraup keuntungan bagi dirinya. Upaya membangun hubungan sosial yang inklusif merupakan harapan yang dipegang oleh mereka yang percaya pada persekutuan para kudus yang memiliki visi kehidupan dalam komunitas sebagai pusat eksistensi manusia. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang dibutuhkan untuk menyadarkan orang yang buta dan tidak menyadari marginalisasi bahwa itu semua berada pada tepi kehidupan berkomunitas? Apa agenda yang mungkin untuk masyarakat yang berhasrat untuk mempraktekkan solidaritas dan sebuah gereja dikatakan sebagai saksi nyata dari persekutuan para kudus?

Politik Generativitas
Erik Erikson merupakan seorang psikolog yang memiliki ide generativitas. Dalam pandangannya, generativitas mengacu pada perhatian bahwa satu generasi memberikan sesuatu yang bisa diteruskan sebagai lingkaran hidup dalam kehidupan berkomunitas. Gagasan ini digunakan untuk membangun suatu masyarakat yang baik.
Kemiskinan dan keputusasaan sebagai akibat kesenjangan ditemukan baik dalam rumah maupun luar negeri. Anak-anak sekarang tumbuh dalam situasi dunia yang penuh dengan kesenjangan. Tidak hanya itu, kerusakan lingkungan hidup juga merupakan salah satu dampak yang akan dirasakan oleh generasi muda berikutnya. Kita, yang hidup sekarang, dapat menjalani kehidupan karena kemurahan hati dari generasi berikutnya. Oleh karena itu, kita juga perlu memikirkan hal-hal baik yang menjadi modal bagi generasi muda berikutnya.
Politik generativitas ini memiliki kemiripan dengan ajaran sosial Gereja. Seperti halnya ajaran sosial Gereja, politik generativitas tidak membicarakan atau membahas perihal politik praktis sebagai pilihan. Politik dapat mengembangkan kehidupan manusia. Misalnya dengan membentuk partai politik atau mengadakan gerakan sosial dengan tujuan partai politik. Generativitas sebagai gambaran ideal sosial tidak mudah ditangkap dan dimengerti oleh ideologi politis yang sudah ada. Satu hal penting dalam politk generativitas dan ajaran sosial Gereja adalah mengerti keadilan sebagai keutamaan personal dan sosial, memiliki sikap solidaritas dan partisipasi.
Paus Paulus VI menuliskan dalam Populorum Progressio bahwa tugas akan keadilan sosial terikat dengan struktur ekonomi internasional. Tugas akan amal kasih menjadi sikap yang perlu dimiliki setiap orang sebagai anggota keluarga manusia. Ini menjadi semangat untuk melihat sesama sebagai saudara. Amal kasih mengajak kita untuk membangun kemanusiaan di antara manusia secara asli. Sedangkan solidaritas memberikan pengaruh yang baik dengan mengurangi jurang keterpisahan yang ada.
Paus Paulus dan Yohanes Paulus II menegaskan bahwa upaya pengembangan kehidupan manusia perlu memperhatikan nilai moral dan politik. Pengembangan harusnya tidak direduksi sebatas  faktor ekonomi semata. Paus Paulus menyebutnya sebagai pengembangan yang integral. Ajaran sosial Gereja tentang pengembangan menyatakan bahwa ini merupakan satu dari berbagai kriteria yang berkaitan dengan prospek kemanusiaan. Hal yang sama juga ada dalam politik generativitas. Politik generativitas berupaya untuk membentuk suatu masyarakat yang mempertemukan tugas tanggung jawab atas nama amal kasih, keadilan dan solidaritas. Hal ini merupakan suatu nilai moral yang sangat kuat untuk pengembangan bagi manusia yang hanya dapat terwujud dalam kehidupan komunitas di mana yang satu memberikan dirinya bagi yang lain. Dengan demikian, kesuksesan ekonomi tanpa ketidakpastian tawaran sosial tidak dapat disejajarkan dengan pengembangan manusia.

Kesimpulan: Persekutuan Para Kudus dan Visi Solidaritas
Lewat artikel ini, kita telah diperkenalkan bahwa tradisi teologi Katolik dan konsekuensi ajaran sosialnya menawarkan secara khusus suatu visi kehidupan manusia, kehidupan komunitas dan tujuan hidup komunitas. Visi komunitarian Katolik memperkenalkan etika sosial solidaritas. Isolasionisme dari kehidupan publik merupakan tantangan tersendiri dalam hidup berkomunitas. Hal ini merupakan berlawanan dengan ajaran sosial Gereja mengenai paham kodrat komunal manusia.
Sebelum kita menyelesaikan berbagai kebijakan publik, kita butuh untuk melatih mata kita untuk melihat realitas secara jelas dan pikiran kita untuk menjelaskan secara akurat apa yang kita temukan ketika kita melihat diri kita lebih jauh. Sampai sekarang, ada banyak perlawanan terhadap kebijakan yang hendak diterapkan. Di sini, pencantuman teologi dalam diskusi publik merupakan suatu langkah untuk memajukan masyarakat kita ke arah yang lebih baik. Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk menyadarkan betapa penting perhatian sosial dengan teologi yang sungguh menyentuh dan mendarat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar