Persekutuan
Para Kudus dan Etika Solidaritas
Amerika merupakan salah satu negara
besar yang mempengaruhi dunia saat ini. Namun, bagaimana Amerika bisa mencapai
pada masa “keemasan’ ini merupakan suatu jalan panjang yang harus dilalui. Setelah
mencapai kemerdekaannya, Amerika berusaha membangun negara yang baik. Penulis
mengatakan bahwa jika ingin menjadi seorang Amerika haruss menjadi sesuatu yang
“baru”. Baru di sini menunjuk pada idea, prinsip, dan opini yang baru. Lincoln bersikeras
bahwa kehidupan harus didedikasikan untuk pekerjaan yang belum terselesaikan di
mana mereka yang berjuang tetap dimajukan. Dia juga berpendapat bahwa dalam
keyakinannya akan masa depan, kehidupan harus menentukan pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian, usaha yang ingin
dibangun sejak awal adalah menbentuk suatu komunitas di tengah kehidupan
manusia.
Tradisi,
Komunitas dan Persekutuan Para Kudus
Tentang kehidupan berkomunitas, Gereja
Katolik memiliki tradisi yang kuat perihal ini. Orang Kristiani sejak awal
sudah hidup dalam suatu ikatan kebersamaan. Tidak hanya itu, ketika iman
kepercayaan Kristiani menyatakan Gereja sebagai satu, kudus, katolik dan
apostolik, apa yang diucapkan, menyatakan bahwa ada suatu hubungan antara
kesatuan, universalitas, kekudusan hal-hal yang melampaui keduniawian. Dalam
arti ini, komunitas Kristiani dalam tradisinya juga mengikut serta umat beriman
yang sudah meninggal. Orang yang sudah meninggal merupakan bagian dari
komunitas Kristiani. Begitu pula dengan mereka yang belum dilahirkan.
Persekutuan inilah yang disebut dengan persekutuan para kudus.
Persekutuan umat beriman ini didasarkan
pada pribadi dan karya Kristus. Persekutuan kita dengan satu dan yang lain
merupakan suatu pengalaman persekutuan dengan Allah dalam Kristus. Persekutuan
ini, berbagi dalam hidup, menjadi persatuan kita dengan Allah dan karena itu
sumber kekudusan. Kesatuan yang diterima lewat persatuan dengan Allah
menjadikan persatuan dan kekudusan sebagai hal yang terhubung erat dengan
kehidupan Kristiani. Ciri kehidupan Kristiani ini ditegaskan kembali dalam
Lumen Gentium (1,1) yang menyatakan bahwa oleh relasinya dengan Kristus, Gereja
merupakan tanda atau sakramen persatuan yang intim dengan Allah dan persatuan
dengan segenap manusia.
Berdasarkan pernyataan dalam Lumen
Gentium di atas, Gereja memiliki dua peran penting. Pertama, Gereja menjadi
tanda persatuan dengan Allah. Di sini, tugas Gereja adalah menjalankan misi
pengudusan. Kedua, Gereja menjadi tanda persatuan dengan manusia. Di sini,
tugas Gereja berkaitan dengan misi sosial. Tentang tugas Gereja yang pertama
tidak terlalu banyak dibahas. Penulis lebih membahas tugas Gereja yang kedua.
Oleh karena itu, pertanyaan selanjutnya adalah siapa sesama kita di mana kita
menyatakan diri sebagai komunio?
Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan
yang ada pada Lukas 10:29 dalam kisah Orang Samaria yang baik hati. Lewat kisah
tersebut, Yesus berusaha menunjukkan kekhasan pandangan Kristiani terhadap
“siapa sesamaku”. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengetahui mereka yang
dipandang sebagai sesama. Namun, arti sesama tidak hanya mereka yang dianggap
asing, melainkan musuh, dan mereka yang memiliki perbedaan ras dan religius. Pada
jaman Paulus, hal ini menjadi nyata bahwa dalam pembaptisan tidak ada lagi
orang Yahudi atau Yunani, budak atau orang merdeka, pria atau wanita (Gal
3:28). Pada akhirnya, kesatuan dalam kehidupan Kristiani, yang bersumber pada
kekudusan, adalah katolik (umum), universal, tidak terikat.
Tubuh
Mistik, Pemikiran Sosial dan Praktek Persekutuan
Doktrin persekutuan para kudus berarti
bahwa ras, nasionalitas, kelas, gender, juga termasuk ruang dan waktu,
ditempatkan tanpa batasan dalam kehidupan bersama. Gambaran ini merupakan
metafora dalam eklesiologi Katolik di mana Gereja merupakan tubuh mistik
Kristus. Maksudnya, setiap anggota Gereja memerlukan suatu hubungan dinamis
dengan Kristus dan umat beriman lainnya. Namun, ketika berhadapan dengan
situasi sosial konkret, titik refleksinya adalah bagaimana relasi dalam tubuh
mistik Kristus ini dapat menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang benediktin Amerika, Virgil
Michel, berpendapat bahwa relasi intim dalam Kristus merupakan suatu rahmat untuk
berpartisipasi dalam usaha pengembangan hidup kemanusiaan. Persekutuan para
kudus menjadi motivasi bagi kaum beriman untuk membangun kehidupan bersama yang
lebih baik. Mereka harus berpartisipasi sebagai pemberi sejak mereka bersatu
dan menerima rahmat dalam Kristus. Dengan kata lain, mereka mengambil bagian
dalam karya Kristus dan sekaligus menjadi cerminan kehadiran Allah.
Sikap murah hati dan saling membutuhkan
yang menandaikan persekutuan para kudus merupakan sikap yang dibutuhkan oleh
setiap anggotan tubuh mistik. Sebaliknya, sikap-sikap yang menunjukkan
keterpisahan dari persekutuan para kudus mengurangi hubungan dengan orang lain.
Dengan kata lain, memutuskan hubungan dalam masyarakat atau menarik diri
merupakan kerugian paling serius dalam kehidupan manusia. Manusia, pada dasarnya,
memiliki tanggung jawab untuk mengambil bagian dalam usaha untuk memperkenalkan
kebutuhan spiritual dan material kepada orang lain. Konsep tubuh mistik ini
tentunya mengingatkan setiap anggotanya bahwa setiap individu memiliki relasi
dengan sesamanya dan bertanggung jawab bersama mengembangkan kehidupan manusia.
Sebagai ilustrasi sebelum melangkah
lebih jauh, dalam perkembangan kepribadiannya, manusia tidak terlepas dari
keberadaan masyarakat. Proses kedewasaan yang dialami manusia dipengaruhi dengan
siapa manusia berelasi dan mengembangkan nilai-nilai. Dengan siapa mereka
berhadapan, pada saat itulah manusia menanamkan suatu nilai di dalam dirinya. Hal
yang sama juga terjadi dalam persekutuan para kudus. Solidaritas mendapatkan
tempat yang penting dalam persekutuan itu dan nilai ini senantiasa dikembangkan
dan dipelihara sehingga memiliki sifat formatif untuk mengembangkan kualitas
karakter moral.
Usaha menemukan praktek komunal yang
mengikat orang merupakan suatu hal yang vital untuk mengembangkan solidaritas
di antara orang-orang. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh paroki-paroki.
Sebagai contoh, hubungan kerjasama paroki antara paroki kota dengan paroki
pinggiran/desa, adopsi anak-anak paroki di tanah asing, proyek ekumenis yang
membawa berbagai budaya religius bersama, usaha meningkatkan keuangan dan
perhatian dalam pelayanan dan kampanye untuk pengembangan manusia. Ini
merupakan beberapa hal yang bisa dilakukan bersama dan masih banyak kegiatan yang
bisa diadakan dalam rangka meningkatkan solidaritas.
Latar
Belakang untuk Pemikiran Sosial Gereja Katolik
Ketika Gereja berusaha memelihara
solidaritas, ini memberikan ekpresi yang mendalam tentang kodrat hidup manusia,
kodrat Gereja dan peran Gereja di tengah masyarakat. Gaudium et Spes menegaskan kembali pernyataan yang sudah ada pada Lumen Gentium tentang Gereja sebagai
persekutuan umat manusia. Gaudium et Spes
artikel 42 menyatakan “sebab pengembangan kesatuan selaras dengan misi Gereja
yang paling dalam, karena Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni
tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat
manusia”. Dengan ini, Gereja ingin menyatakan bahwa usaha Gereha bukan suatu
misi politis tetapi pelayanan suatu misi religius.
Pada bagian awal Gaudium et Spes bagian kedua, artikel 23-29, ada suatu penghubung
yang mendasarkan pemikiran sosial Gereja tentang masyarakat. Dijelaskan pada
bahwa, didasarkan pada penciptaan manusia sebagai citra Allah, ini menyatakan
rencana Allah tentang kemanusiaan. Kemanusiaan harus dibentuk menjadi satu
keluarga dan memperlakukan satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan. Di
sini, Gereja ingin menyampaikan bahwa kodrat sosial dalam diri manusia
merupakan suatu elemen penting yang perlu dikembangkan bersama. Oleh karena
itu, penyatuan segenap manusia dan kelompok dalam mengusahakan kebaikan bersama
merupakan suatu tanggung jawab moral.
Penghormatan terhadap martabat manusia
menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Dalam visi teologis tentang
kemanusiaan, Gereja menunjukkan bahwa persekutuan para kudus sebagai suatu
pernyataan teologis mempunyai peran dalam prinsip etis solidaritas. Dalam
kehidupan berkomunitas, gambaran solidaritas menjadi lebih kelihatan. Dalam
komunitas, solidaritas tidak hanya sekadar dilihat sebagai suatu hubungan biasa
di antara para anggota komunitas. Lebih dalam dari itu, solidaritas mengandung
unsur atau nilai, seperti praktek pengampunan, perhormatan dan respek serta
cinta. Nilai ini memang tampak abstrak bila dijelaskan dengan berbagai konsep
dan bahasa namun nilai tersebut dalam dirasakan seara nyata dalam kehidupan
berkomunitas dalam semangat solidaritas. Martabat manusia dapat menjadi nyata
dan dijaga hanya dalam komunitas.
Gambaran komunitas ini menjadi semangat
dalam pemikiran sosial Gereja. Di sini, ajaran Gereja menyatakan komitmennya
untuk komunitas di mana pengalaman berkomunitas diwujudnyatakan lewat institusi
sosial dan praktek solidaritas.
Solidaritas
dan Interdependensi
Pendapat umum sekarang ini menyatakan
bahwa kita hidup dalam suatu dunia yang saling tergantung. Namun, kenyataannya
tidaklah demikian. Ketika interdependensi berhadapan berada dalam konteks
solidaritas, ada begitu banyak tantangan dan hambatan dalam praktek
kesehariannya.
Sebagai contoh adalah penggunaan mobil
pribadi yang meningkat dan memenuhi jalan. Hal ini tentu saja menjadi tantangan
dalam membangun solidaritas di tengah masyarakat. Orang lebih peduli dengan
dirinya dan kurang memberikan perhatian dengan sesama. Kemakmuran sering
bergantung pada keuangan publik dalam berbagai bentuk. Selain itu, ada
kecenderungan untuk kurang memperhatikan kehidupan public dalam skala besar. Dewasa
ini, orang yang “makmur” memilih tinggal dalam suatu residensial khusus yang
dijaga oleh petugas keamanan, ada pengumpul sampahnya, perawatan jalan berkala.
Bahkan, tidak jarang orang lebih senang menyekolahkan anaknya secara privat. Di
balik itu, mungkin, kebencian terhadap perpajakan juga bisa menjadi pemicu
seseorang untuk menarik diri dari komunitas. Namun, semua praktek ini
mengakibatkan keterpecahan masyarakat dan kehilangan solidaritas.
Setiap orang pasti menyadari bahwa
hubungan dengan orang lain merupakan suatu hal yang penting. Kesaling-tergantungan
ini menjadi sesuatu yang penting untuk kehidupan manusia. Manusia dalam
meningkatkan dan mengembangkan dimensi dari kehidupan manusiawinya. Namun,
berbagai praktek penarikkan diri dari kehidupan berkomunitas, dengan sukses,
telah mengisolasi hubungan saling tergantung ini. Bahkan, sikap tersebut
semakin menarik jarak dengan kaum miskin dan marginal. Dalam situasi ini,
ajaran sosial Katolik tentang solidaritas mengakui bahwa daya tarik
interdependensi mungkin tidak didengar oleh semua orang. Klaim solidaritas
tidak ditunjukkan dengan mudah sebagai suatu pengakuan jelas terhadap
interdependensi tetapi sebagai suatu tanggung jawab moral yang dibangun atas
dasar kesatuan manusia sebagai sebuah keluarga.
Namun, dalam kaitan solidaritas dengan
interdependensi, keduanya harus dibedakan. Ada perbedaan antara keduanya dalam
pandangan Gereja Katolik. Gereja berpandangan bahwa argumen untuk moral yang
didasarkan pada interdependensi telah mengurangi makna solidaritas. Dalam
argumen tersebut, solidaritas hanya dipandang tidak lebih dari sesuatu yang
memperkuat kepentingan pribadi. Gereja ingin menekankan bahwa solidaritas
merupakan suatu keutamaan. Ini membutuhkan perubahan pandangan, hati dan
kehendak. Kepentingan pribadi diselaraskan dengan kepentingan bersama sehingga
tercipta keharmonisan antara keduanya. Solidaritas harus menjadi pilihan bagi
setiap orang yang berusaha meningkatkan kebaikan. Dengan demikian, Gereja ingin
menunjukkan bahwa usaha mewujudkan kebaikan bersama tidak berasal dari
kepentingan pribadi melainkan berdasar pada klaim teologis tentang persatuan
keluarga manusia dan tanggung jawab moral yang ada dalam persekutuan setiap
pribadi.
Solidaritas
dan Keadilan
Puncak keberhasilan yang nampak dari
solidaritas adalah membangun masyarakat yang cenderung untuk hidup inklusif
daripada hidup secara ekslusif. Dalam konteks ini, marginalisasi merupakan
musuh nyata dari solidaritas. Berhadapan dengan kasus ini, Gereja Katolik
memilih berpihak kepada kaum miskin. Keberpihakan terhadap kaum miskin ini
menjadi pusat ajaran sosial Gereja dalam usaha membangun keadilan. Pilihan
terhadap kaum miskin dalam konteks solidaritas memerlukan suatu usaha keras
dalam mendukung aksi-aksi yang mempromosikan suatu pengurangan marginalisasi.
Solidaritas telah memberikan penekanan
baru untuk menghubungkan antara keadilan dan komunitas yang berpartisipasi. Karena
visi solidaritas ini, ajaran sosial Katolik memperhatikan kemampuan pribadi
untuk membangun suatu hubungan dengan yang lain. Dalam hal usaha membangun
keadilan, partisipasi merupakan suatu yang penting untuk mengembangkan kehidupan
bersama. Penekanan atas sikap partisipatif ini merupakan kunci untuk mengerti
arti keadilan dalam masyarakat modern. Hal ini penting karena masyarakat modern
kurang ikut ambil bagian dalam usaha membangun kehidupan bersama, seolah-olah
mereka bukan anggota dari umat manusia.
Ajaran sosial Gereja tentang keadilan
dibentuk dalam suatu etika solidaritas. Penting bahwa dalam solidaritas,
kualitas relatif merupakan ekspresi normatif dari visi teologis terhadap
solidaritas. Kata relatif berarti bahwa kualitas tujuan yang ingin dicapai
tidak mutlak, suatu level di mana setiap orang mendapat keuntungan yang sama
dan membagikan beban yang sama. Ide dibalik kualitas relatif ini yaitu bahwa
kesenjangan terjadi karena dipengaruhi keterbatasan moral. Batasan dan
perbedaan ini menjadi tempat bagi solidaritas sehingga persatuan sebagai umat
manusia dapat ditingkatkan. Kesenjangan yang terjadi inilah yang menjadi wujud
dari ketidakadilan. Oleh karena itu, Gereja memberikan perhatian akan
kesenjangan ini karena Gereja senantiasa berpegang pada visi komunitasnya.
Pertanyaan
Baru untuk Pemikiran Sosial Gereja Katolik
Paus Leo XIII menulis Rerum Novarum dalam kesadaran akan
kondisi para pekerja dan diangkat menjadi pertanyaan sosial pada masa itu.
Selanjutnya, Pius XII juga menulis dari perspektif pertanyaan sosial yang baru
pada masa Perang Dunia II. Untuk sekarang ini, ketidaksetaraan menjadi
perhatian sosial dari Gereja.
Raymond Flynn menunjukkan fakta yang
terjadi di Amerika akibat perang teluk. Dia menuliskan bahwa 33 juta orang
Amerika hidup di bawah garis kemiskinan. Anak-anak harus hidup dalam situasi
miskin. Dalam hal ini, orang yang sudah miskin menjadi semakin miskin dan hidup
dalam kesulitan. Ironisnya, orang yang kaya justru menjadi semakin kaya. Kesenjangan
antara kedua kaum ini menjadi semakin jauh. Flynn menambahkan bahwa salah satu
masalah sosial yang muncul adalah tempat tinggal. Banyak orang Amerika
kehilangan tempat tinggal. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya apartemen.
Sementara rumah mereka digusur, mereka tidak mampu untuk membiayai hidup dalam
apartemen.
Di antara itu semua, anak-anak
merupakan korban yang paling menderita. Anak-anak adalah kaum paling miskin
dari populasi manusia. Anak-anak miskin begitu menderita. Mereka merupakan
orang muda yang memulai hidupnya dengan kehilangan kebutuhan dasar yang
dibutuhkan dalam perkembangan mereka. Tidak jarang juga, ada begitu banyak kasus
anak remaja melakukan tindak bunuh diri. Selain itu, tidak jarang pula kasus
remaja hamil di luar pernikahan. Oleh karena itu, perhatian diberikan secara
khusus kepada anak-anak ini.
Segala upaya dan perhatian terhadap
anak-anak tumbuh atas kesadaran bahwa anak-anak merupakan generasi baru di mana
segala harapan ada pada diri mereka. Namun, dalam situasi kesenjangan ini,
anak-anak menjadi kaum yang sangat miskin dan termarginalisasi. Dengan situasi
ini, kita sedang membangung generasi yang tidak hanya sebagai pengangguran
tetapi generasi yang tidak berguna, tidak hanya miskin pendidikan tetapi juga
buta akan informasi dasar kemasyarakatan, tidak hanya marah tetapi asosial dan
tanpa pegangan moral.
Hal ini tidak hanya terjadi di Amerika.
Dampak kesenjangan ini tidak hanya terasa pada suatu ruang lingkup lokal
tertentu tetapi juga memberikan dampak global. Jutaan anak meninggal setiap
tahun karena kemiskinan, kelaparan dan penyakit. Tujuh juta anak tinggal di
kamp pengungsian dan sebagian besar tidak memiliki tempat tinggal sebagai
dampak peperangan. Di banyak negara, anak-anak juga dijadikan sebagai buruh.
Lebih dari itu, nasib burah anak ini sangat mengenaskan. Mereka berada dalam
kondisi yang memprihatinkan, gaji yang penuh skandal dan kondisi fisik yang
berbahaya. UNICEF juga menunjukkan bahwa banyak anak berada dalam “situasi yang
sangat sulit”. Mereka berada dalam lingkup kriminal, kemelaratan dan prostitusi
hanya untuk bertahan hidup.
Berhadapan dengan situasi ini, para
uskup Amerika menyadari bahwa kesenjangan yang terjadi di tengah masyarakat
memberikan dampak yang buruk dalam perkembangan dunia. Ketidakpedulian sosial
dan marginalisasi semakin marak terjadi di tengah kehidupan manusia. Hal ini
tidak hanya terjadi di Amerika tetapi juga terjadi di seluruh dunia.
Marginalisasi menjadikan kaum miskin semakin menderita dan kaum berpunya
semakin meraup keuntungan bagi dirinya. Upaya membangun hubungan sosial yang
inklusif merupakan harapan yang dipegang oleh mereka yang percaya pada
persekutuan para kudus yang memiliki visi kehidupan dalam komunitas sebagai
pusat eksistensi manusia. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang
dibutuhkan untuk menyadarkan orang yang buta dan tidak menyadari marginalisasi
bahwa itu semua berada pada tepi kehidupan berkomunitas? Apa agenda yang
mungkin untuk masyarakat yang berhasrat untuk mempraktekkan solidaritas dan
sebuah gereja dikatakan sebagai saksi nyata dari persekutuan para kudus?
Politik
Generativitas
Erik Erikson merupakan seorang psikolog
yang memiliki ide generativitas. Dalam pandangannya, generativitas mengacu pada
perhatian bahwa satu generasi memberikan sesuatu yang bisa diteruskan sebagai
lingkaran hidup dalam kehidupan berkomunitas. Gagasan ini digunakan untuk
membangun suatu masyarakat yang baik.
Kemiskinan dan keputusasaan sebagai
akibat kesenjangan ditemukan baik dalam rumah maupun luar negeri. Anak-anak
sekarang tumbuh dalam situasi dunia yang penuh dengan kesenjangan. Tidak hanya
itu, kerusakan lingkungan hidup juga merupakan salah satu dampak yang akan
dirasakan oleh generasi muda berikutnya. Kita, yang hidup sekarang, dapat
menjalani kehidupan karena kemurahan hati dari generasi berikutnya. Oleh karena
itu, kita juga perlu memikirkan hal-hal baik yang menjadi modal bagi generasi
muda berikutnya.
Politik generativitas ini memiliki
kemiripan dengan ajaran sosial Gereja. Seperti halnya ajaran sosial Gereja,
politik generativitas tidak membicarakan atau membahas perihal politik praktis
sebagai pilihan. Politik dapat mengembangkan kehidupan manusia. Misalnya dengan
membentuk partai politik atau mengadakan gerakan sosial dengan tujuan partai
politik. Generativitas sebagai gambaran ideal sosial tidak mudah ditangkap dan
dimengerti oleh ideologi politis yang sudah ada. Satu hal penting dalam politk
generativitas dan ajaran sosial Gereja adalah mengerti keadilan sebagai
keutamaan personal dan sosial, memiliki sikap solidaritas dan partisipasi.
Paus Paulus VI menuliskan dalam Populorum Progressio bahwa tugas akan
keadilan sosial terikat dengan struktur ekonomi internasional. Tugas akan amal
kasih menjadi sikap yang perlu dimiliki setiap orang sebagai anggota keluarga
manusia. Ini menjadi semangat untuk melihat sesama sebagai saudara. Amal kasih
mengajak kita untuk membangun kemanusiaan di antara manusia secara asli. Sedangkan
solidaritas memberikan pengaruh yang baik dengan mengurangi jurang keterpisahan
yang ada.
Paus Paulus dan Yohanes Paulus II
menegaskan bahwa upaya pengembangan kehidupan manusia perlu memperhatikan nilai
moral dan politik. Pengembangan harusnya tidak direduksi sebatas faktor ekonomi semata. Paus Paulus
menyebutnya sebagai pengembangan yang integral. Ajaran sosial Gereja tentang
pengembangan menyatakan bahwa ini merupakan satu dari berbagai kriteria yang berkaitan
dengan prospek kemanusiaan. Hal yang sama juga ada dalam politik generativitas.
Politik generativitas berupaya untuk membentuk suatu masyarakat yang
mempertemukan tugas tanggung jawab atas nama amal kasih, keadilan dan
solidaritas. Hal ini merupakan suatu nilai moral yang sangat kuat untuk
pengembangan bagi manusia yang hanya dapat terwujud dalam kehidupan komunitas
di mana yang satu memberikan dirinya bagi yang lain. Dengan demikian,
kesuksesan ekonomi tanpa ketidakpastian tawaran sosial tidak dapat disejajarkan
dengan pengembangan manusia.
Kesimpulan:
Persekutuan Para Kudus dan Visi Solidaritas
Lewat artikel ini, kita telah
diperkenalkan bahwa tradisi teologi Katolik dan konsekuensi ajaran sosialnya
menawarkan secara khusus suatu visi kehidupan manusia, kehidupan komunitas dan
tujuan hidup komunitas. Visi komunitarian Katolik memperkenalkan etika sosial
solidaritas. Isolasionisme dari kehidupan publik merupakan tantangan tersendiri
dalam hidup berkomunitas. Hal ini merupakan berlawanan dengan ajaran sosial
Gereja mengenai paham kodrat komunal manusia.
Sebelum kita menyelesaikan berbagai
kebijakan publik, kita butuh untuk melatih mata kita untuk melihat realitas
secara jelas dan pikiran kita untuk menjelaskan secara akurat apa yang kita
temukan ketika kita melihat diri kita lebih jauh. Sampai sekarang, ada banyak
perlawanan terhadap kebijakan yang hendak diterapkan. Di sini, pencantuman
teologi dalam diskusi publik merupakan suatu langkah untuk memajukan masyarakat
kita ke arah yang lebih baik. Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk
menyadarkan betapa penting perhatian sosial dengan teologi yang sungguh
menyentuh dan mendarat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar