Minggu, 10 Maret 2013

Mencari Tuhan



“Tuhan di Malam Hari”

Selamat datang malam
Selamat datang gelap
Selamat datang sepi
Sendiri....sendiri...masih sendiri

Sengaja kubangun di malam hari. Ketika mereka tidur dan masuk dalam dunia tak nyata, aku berusaha untuk bangkit. Kupaksakan diriku untuk menemukan cintaku, cinta yang kutemukan ketika seminari menjadi naunganku. Malam ternyata tidak selalu gelap, langit tidak pernah kelam dan manusia tidak pernah sendiri. Jakarta telah membuatku takut akan malam. “kau takkan pernah menemukan bintang yang sesungguhnya karena bintang itu telah kugantikan dengan lampu-lampu penerang jalan” katanya. Takkan pernah ada bulan yang sesungguhnya di jakarta, itu telah digantikan oleh lampu-lampu tembak raksasa dari puncak-puncak mall. Lalu apa itu malam, bulan dan bintang...???
Kebiasaan tidur malam ternyata punya efek negatif. Tidak terlalu besar tapi kalau tidak disadari bisa jadi lupa diri. Waktu kecil aku takut pada malam. Bukan karena malam gelap tapi karena aku takut sendiri. Jangan-jangan semua orang tidur dan jika aku bangun malam hari, aku pasti sendiri. Kemana aku akan bertanya, pada siapa aku harus berpegang, mengapa aku sendiri....? Malam memang misterius tapi tidaklah demikian. Bahkan di tengah laut pun masih ada seratus orang lebih yang memang mencari nafkah di malam hari. Lihatlah jakarta malam hari, dia tidak akan pernah tidur.

Ini adalah malamku kedua di kapal dalam perjalanan menuju kampung halaman yang tak lagi dijejak sejak dua puluh tahun yang lalu. Gambaran malam jakarta tentu menjadi latar imajinasiku. Sayang ini di laut dan bukan di jakarta. Semuanya bertolak belakang. Ketika kubangun dari tidurku, tak ada lagi yang duduk atau bersenda gurau. Semua terlelap dan aku beranjak keluar. Aku suka ketengangan ini. Tak ada suara selain suara mesin yang mengoyak ombak dan angin yang berlari. Cahaya hanya ada di kapal ini dan aku tidak menemukannya di tempat lain. Tidak! Masih ada tiga cahaya yang aku temukan. Mercusuar, bintang dan bulan. Dan ketiganya berada di tempat jauh.
Terbesit sejenak. Inilah sketsa hidup manusia. Apa itu masa depan? Masa yang akan dialami manusia di kemudian hari, katanya. Tapi siapa yang tahu kejadian apa yang akan terjadi. Yang nyata hanyalah harapan akan masa depan itu. Manusia tidak bisa pula mewujudkan harapan sepenuhnya. Tuhanlah yang senantiasa memberikan masa depan. Manusia bisa berusaha mendekati harapannya. Masa depan itu seperti malam. Gelap dan sulit menentukan arah tujuan. Terkadang manusia berdiri sendiri dan terombang-ambing dalam kebingungan. Bisa saja manusia tersesat jauh dari harapannya.
Bukan Tuhan kalau dia tidak perhatian dan pengasih. Sejak pertama kali Allah menciptakan dunia, Dia sudah memikir yang terbaik bagi manusia. Gelap diidentikan oleh manusia sebagai tanda ke gelapan dimana manusia tidak punya suatu harapan. Gelap menjadi tanda bahwa dalam hidup manusia selalu ada sisi jahat atau masa kelam. Gelap menjadi simbol kuasa kegelapan yang menentang Allah yang Ilahi. Ada begitu banyak persepsi miring terhadap gelap. Tempat gelap menjadi sarang hantu, kata takhayul orang Indonesia. Tempat gelap adalah tempat terjadinya tindak kriminal, seperti perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, dll. Segala yang berkaitan dengan gelap hampir selalu negatif.
Oleh karena itu, Allah menempatkan matahari pada saat terang dan bulan pada saat gelap. Mengapa Allah perlu menempatkan bulan? Mengapa tidak sekalian saja semua menjadi gelap supaya sungguh terjadi perbedaan antara siang dan malam, antara terang dan gelap? toh, bulan tidak bisa menggantikan peran matahari........
Kehadiran bulan memang tidak terasa di kota besar seperti Jakarta. Sinar dan gemerlap kota Jakarta lebih menarik ketimbang memandang langit yang gelap. Maka, orang akan kesulitan menangkap indahnya bulan, dan juga bintang. Kini aku mengerti bagaimana indahnya terang bulan dan begitu eloknya taburan bintang. Mereka tidak hanya sekadar indah karena mereka adalah tanda bagiku, bahwa Allah menyertaiku dalam masa-masa gelap dan kelam dalam hidupku. Dalam situasi gelap apa pun, manusia selalu punya secercah sinar harapan. Manusia punya setitik cahaya yang menjadi pegangan dalam hidup.
Cahaya itu Bulan. Dan, Bulan itu tanda kehadiran Allah dalam kegelapan hidup manusia.



Fr. Ambrosius Lolong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar