Persepsi
Indrawi: Peran dan Permasalahan
1. Pengantar
Dalam usaha memperoleh pengetahuan,
manusia mempersepsikan sesuatu dengan menggunakan indra yang dimilikinya. Melalui
makalah ini, kami ingin mencoba untuk mendalami lebih lanjut perihal persepsi
indrawi ini. Beberapa pertanyaan dasar yang kami ajukan adalah sebagai berikut.
Apa itu persepsi indrawi dan bagaimana perannya dalam kegiatan manusia
mengetahui? Apa saja permasalahan yang dijumpai dalam proses persepsi indrawi?
Apa itu realisme langsung? Apa itu realisme tak langsung? Apa itu idealisme dan
bagaimana pandangannya tentang persepsi indrawi? Benarkah anggapan bahwa
pengalaman indrawi merupakan semata-mata sesuatu yang “terberi”?
2. Pengalaman Indrawi
Dalam kegiatan manusia mengetahui, manusia
membutuhkan bermacam-macam pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi sendiri dapat
diartikan sebagai serangkaian akibat atau kesan-kesan pada subjek penahu yang
penyebabnya dapat dirunut kembali ke kegiatan indra. Akan tetapi para filsuf
menilai bahwa manusia tidak pernah mempunyai pengalaman indrawi murni, sebab
pengalaman indrawi selalui terkait dengan akal. Maka, mereka lebih sering
menggunakan istilah ”persepsi” untuk menggambarkan suatu pengindraan. Bagi
mereka, istilah persepsi melibatkan lebih banyak dari sekadar apa yang mampu
kita lihat dengan mata kita sebab dalam persepsi terkandung juga suatu kesadaran akan apa yang
dipersepsikan dan di dalamnya juga sudah termuat konseptualisasi[1].
Ada
tiga aspek pengalaman perseptual yang perlu dibedakan satu sama lain. Pertama, pengalaman
perseptual yang secara aktual dihayati mengenai suatu objek fisik beserta
ciri-cirinya. Kedua, persepsi sebagai tahap dalam pengalaman perseptual
yang disumbangkan oleh indra sentral dan yang menyebabkan adanya kesatuan dalam
satu objek dengan macam-macam kualitas indrawi yang disampaikan melalui indra
penerima. Ketiga. Pengindraan sebagai tahap awal transmisi kausal
informasi indrawi melalui macam-macam organ keindraan yang tidak secara
langsung kita sadari[2].
Kita
juga perlu mengenal empat elemen dalam persepsi[3]: (1) Penerima sebagai
subjek (2) Objek yang diamati (3) Pengalaman sensorik (4) Relasi antara objek
dan subjek. Jadi jika ada sebuah pernyataan ”Saya melihat bulpen merah di bawah
meja”, maka saya merupakan subjek penerima, bulpen adalah objeknya, pengalaman
saya melihat warna dan bentuk objek merupakan sebuah pengalaman sensorik,
dan keadaan diriku yang mengarahkan diri
kepada objek itu merupakan relasi yang memungkinkan adanya pengalaman
perseptual tersebut.
3. Indra
Dalam
kajian epistemologi, jika kita berbicara mengenai indra manusia, ada dua
kelompok indra yang diterima dan dipelajari. Kelompok pertama ialah indra luar
(external senses) atau yang lebih kita kenal sebagai pancaindra
(penglihatan, pendengaran, pencecap, pembau, dan peraba). Berdasarkan kelima
indra inilah setiap manusia dapat berhubungan dengan dunia luarnya. Kelompok
indra ini juga disebut sebagai indra khusus karena masing-masing indra memiliki
organ penerimanya sendiri.
Kelompok
kedua adalah indra dalam (internal senses). Indra dalam adalah daya
pengenalan suatu objek konkret secara material melalui kualitas-kualitas
terindra yang dialami melalui indra-indra khusus. Indra-indra ini tidak
memiliki organ penerima secara khusus tetapi berhubungan dengan bagian cortex
otak manusia. Dalam mempelajari indra dalam, ada beberapa pendapat mengenai apa
saja yang dapat disebut sebagai indra dalam. Perbedaan itu antara lain:
1.
Indra pusat atau indra pemadu. Indra ini
memiliki daya untuk mempersepsi, membedakan, dan menggabungkan pengindraan
menjadi suatu kesadaran meneluruh tentang objek yang dihadapi.
2.
Imajinasi adalah daya untuk menghadirkan
kembali objek yang tidak hadir pada organ penerima. Melalui imajinasi, manusia
bisa menggabung-gabungkan pengalaman indrawi menjadi suatu gambaran baru.
3.
Ingatan adalah daya untuk menghadirkan kembali objek-objek yang
terjadi pada masa lalu secara indrawi tetapi tetap sebagai masa lalu.
4.
Daya estimatif adalah daya untuk mengenali,
sebelum pembelajaran dan pemahaman, perilaku yang pas berhadapan dengan suatu
objek indrawi. Melalui daya inilah terdapat perilaku instingtif manusia.
4. Mediasi dan Inferensi[4]
·
Mediasi
Secara harafiah, kata mediasi
berarti keperantaraan. Kata ini berakar dari bahasa Latin, medium,
yang berarti apa yang ada di tengah. Sedangkan dalam filsafat, mediasi
berati apa yang menghubungkan dua hal. Lawan dari bermediasi adalah
tanpa mediasi atau langsung. Para filsuf Skolastik membedakan mediasi menjadi
tiga jenis, yaitu medium quod, medium quo, dan medium in quo.
·
Medium
quod, sesuatu yang
sendiri diketahui dan dalam mengetahui sesuatu itu sesuatu yang lain juga
diketahui. Hal itu dapat dilihat pada premis-premis dalam silogisme—pengetahuan
dalam premis-premis membawa pada kesimpulan. Contoh yang mudah ditangkap adalah
dalam lampu lalu lintas. Dengan mengetahui bahwa lampu warna merah adalah
berhenti, saya pun mengetahui bahwa saya harus menghentikan kendaraan.
·
Medium
quo, sesuatu yang sendiri
tidak disadari, tetapi melaluinya sesuatu yang lain diketahui. Contoh yang bisa
menjelaskan adalah lensa kacamata yang dipakai. Melalui kacamata yang dipakai,
benda-benda di sekitar dapat dilihat, namun kacamata itu sendiri tidak secara
langsung disadari.
·
Medium
in quo, sesuatu yang
tidak disadari secara langsung dan yang dalamnya diketahui sesuatu yang lain.
Contoh yang tepat untuk menjelaskannya adalah kaca spion mobil. Sang Sopir
mampu melihat kendaraan ataupun hal-hal lain di belakangnya pada kaca spion
yang tidak secara langsung disadari.
Dari ketiga jenis itu, hanyalah medium
quod yang secara langsung kita sadari. Sedangkan dua jenis yang lain, medium
quo dan medium in quo berfungsi dalam kegiatan kita mengetahui
sesuatu, tetapi tanpa disadari secara langsung.
·
Inferensi
Inferensi atau penyimpulan merupakan
proses penalaran dari apa yang sudah diketahui ke apa yang sampai sekarang
belum diketahui—suatu gerak pemikiran dari premis-premis ke kesimpulan. Hal
yang perlu diperhatikan adalah bahwa inferensi selalu ditarik secara sadar dan
tidak terjadi secara otomatis. Terdapat tiga jenis inferensi, yaitu deduksi,
induksi, dan abduksi.
·
Deduksi,
adalah proses inferensi
yang apabila premis-premisnya benar, kesimpulannya mesti benar. Kesimpulannya
bersifat niscaya dalam hubungan dengan premis-premisnya. Contohnya adalah: semua
mangga dalam karung itu adalah mangga jenis manalagi; mangga itu diambil
dari karung itu; maka, mangga ini adalah mangga manalagi.
·
Induksi,
adalah bentuk inferensi
yang membentuk suatu hipotesis sedimikian rupa sehingga apabila hipotesis itu
benar, maka premis-premis dari mana inferensi itu ditarik juga dengan
sendirinya benar. Contohnya adalah: mangga itu diambil dari karung itu; mangga
ini adalah mangga jenis manalagi; maka, barangkali semua mangga dalam
karung itu adalah mangga jenis manalagi. Kesimpulannya bersifat niscaya.
·
Abduksi, adalah bentuk inferensi yang menguji
hipotesis dengan menarik konsekuensi sebagai sebuah prediksi dan kemudian
mengujinya dalam pengalaman. Contohnya adalah: semua mangga dalam karung itu
adalah mangga jenis manalagi; mangga-mangga ini adalah jenis manalagi;
maka, ada kemungkinan bahwa mangga-mangga ini diambil dari karung itu.
Kesimpulannya bersifat niscaya.
5. Realisme
Langsung dan Realisme Tak Langsung
Realisme adalah paham filsafat yang
menerima fakta-fakta sebagaimana adanya tanpa idealisasi, spekulasi, atau
idolasi. Dalam pandangan realisme, apa yang dialami dan disadari oleh manusia
adalah benda atau objek fisik dengan kualitas indrawinya. Objek langsung
ditangkap beserta dengan kualitas yang melekat pada objek itu. Realisme
menangkap objek tertentu ini lepas dari proses fisk, fisiologis dan psikologis
yang mungkin menjelaskan pengalaman indrawi tersebut.
Aliran ini masih dapat dibagi dua yaitu
realisme langsung dan realisme tidak langsung. Realisme langsung berpandangan
bahwa yang kita sadari secara langsung atau yang kita cerap secara indrawi dan
kita ketahui adalah objek fisik itu sendiri dan bukan hanya gagasan atau
representasi kita tentang objek tersebut. Sementara itu, realisme tak langsung
berpandangan bahwa pengetahuan tentang suatu objek fisik hanya terjadi melalui
representasi atau melalui gejala yang menampakkan diri kepada kita.
5.1. Realisme Langsung
Pengetahuan manusia juga berkenaan dengan
peran indra dalam proses mengetahui. Dengan pencerapan melalui indra ini,
manusia mampu menangkap objek di luar dirinya. Namun, perlu disadari, proses
penangkapan objek ini merupakan medium in quo, medium yang digunakan
untuk menangkap objek tidak secara langsung disadari. Realisme langsung yang
dimengerti adalah realisme yang bermediasi. Dengan demikian, realisme langsung
yang kita ikuti adalah realisme langsung yang bermediasi. Artinya, manusia
menerima bahwa dalam memberikan penjelasan tentang apa yang dialami secara indrawi,
diterima adanya rangkaian penyebaban, baik fisik, fisiologis maupun psikologis
dari sisi intensionalitas subjek.
Namun, dalam memahami realisme ini kita
perlu menyadari beberapa hal yang terkait. Realisme langsung masih dibagi
menjadi dua, yaitu realisme naif dan realisme kritis.
a. Realisme Naif[5]
Realime naif
berpandangan bahwa objek fisik bukan hanya mempunyai keberadaan sendiri lepas
dari kegiatan pengindraan manusia tetapi adanya pada dirinya sendiri adalah
persis sama dengan objek fisik yang secara langsung dialami secara indrawi pada
saat dan tempat tertentu. Realisme naif menerima mentah-mentah pengalaman
indrawi yang dialami.
Paham ini tidak
memadai dan memiliki kelemahan sehingga tidak bisa digunakan begitu saja
sebagai dasar pengetahuan manusia. Realisme naif mengabaikan perbedaan antara
apa yang tampak pada si pengamat dan apa yang ada dalam kenyataan sesungguhnya.
Kemungkinan terjadi ketidakcocokkan sangat besar dan hal ciri-ciri yang kita
tangkap dengan indra dapat tidak melekat pada benda itu karena sangat
tergantung pada subyek yang melihat.
b. Realisme Kritis[6]
Realisme ini
merupakan kritik atas realisme naif. Realisme kritis tidak hanya menerima benda
begitu saja tetapi mengakui adanya kualitas sekunder dari benda tersebut.
Realisme kritis dapat dibagi menjadi dua, yaitu realisme kritis fomal dan
realisme kritis virtual.
I. Realisme kritis formal berpendapat bahwa
kualitas indrawi baik yang primer maupun yang sekunder, secara formal ada
”dalam” objek fisik yang dicirikan oleh kualitas tersebut. Realisme ini sedikit
lebih maju dibanding dengan realisme naif. Pertama, paham ini tidak mengabaikan
kemungkinan adanya ketidakcocokkan antara apa yang secara langsung tampak dan
apa yang sesungguhnya ada pada objek itu sendiri. Kedua, realisme ini mampu
memberi penjelasan tentang alasan ketidakcocokkan tersebut.
Namun,
realisme ini masih memiliki kelemahan sehingga sulit untuk dijadikan dasar
pengetahuan manusia. Pertama, realisme ini mengandaikan bahwa suatu kualitas
indrawi dapat disebut objektif hanya jika ia harus terdapat dalam suatu objek
fisik, persis sama dengan yang tampak sebagai ciri objek itu sebagaimana dialami.
Dengan demikian, hal ini mempersempit kegiatan mengetahui hanya sebagai kegiatan
memandang dan melaporkan saja. Subjek pengamat cenderung pasif dan objek lebih
aktif menunjukkan dirinya. Kedua, objektivitas pengetahuan dipahami sebagai apa
yang secara empiris ”terberi” sehingga mengurangi makna objektivitas yang mengandaikan
adanya relasi antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati.
II. Realisme kritis virtual berpendapat bahwa sekurang-kurangnya
kualitas sekunder (contohnya warna, bau, bunyi) dari sesuatu tidak secara
formal “dalam” objek fisik yang dicirikan olehnya, tetapi secara virtual.
Maksudnya, objek fisik itu memiliki daya dalam dirinya untuk menunjukkan kepada
kita pengalaman akan kualitas sekunder tersebut. pengamat.
Jika
dibandingkan dengan realisme kritis formal, realisme kritis virtual ini sudah
lebih maju. Penganut realisme ini melihat bahwa tidak semua kualitas indrawi
secara formal ada dalam objek fisik. Ada kualitas indrawi yang lebih banyak
tergantung dari subjek pengamat.
Kelemahan
realisme ini yaitu, pertama, adanya pembedaan kualitas primer dan kualitas
sekunder. Kualitas primer dibedakan dari kualitas sekunder padahal kualitas
primer dan kualitas sekunder merupakan dua hal yang saling terkait dan
mendukung. Kedua, objektivitas
pengetahuan dipahami sebagai apa yang secara empiris terberi. Kegiatan
mengetahui dipandang sebagai kegiatan memandang dan melaporkan secara objektif
dan impersonal. Dimensi aktif dan konstruktif dari subjek diabaikan begitu
saja. Padahal, objektivitas pengetahuan merupakan hasil jalinan antara subjek
dan objek. Objektivitas suatu pengetahuan haruslah bersifat terbuka dan dapat
diuji kebenarannya secara publik dan intersubjektif.
5.2. Realisme Tak Langsung[7]
Dalam realisme tak
langsung, objek fisik sendiri tidak bisa diketahui secara langsung. Tetapi
dapat diketahui melalui:
·
Representasionalisme (representasi
tentang objek)
Dalam representasionalisme,
ide-ide tentang suatu benda dalam benak menampilkan kriteria primer benda
tersebut. Ide-ide tersebut juga merupakan data subjektif. Beberapa tokoh yang
ada dalam aliran pemikiran ini adalah Locke, Descartes, Galileo, Hobbes, dan
Newton. Salah satu contohnya adalah menggambarkan sebuah bola sepak, digukaan
penjelasan dalam bahasa, seperti ide-ide bahwa bentuknya bulat, permukaannya
licin, dll (mengandaikan punya pengalaman atas hal itu). Namun, pandangan ini
mengesampingkan sebuah masalah, yaitu bagaimana kita bisa tahu sifat-sifat
penyebab dari benda-benda tersebut jika kita tidak tahu benda-bendanya hanya
ide saja (kritik Berkeley)—kenyataan objektif direduksi kepada kumpulan dan
gerakan dari benda-benda berkeluasan dan segalanya yang lain yang bersifat
subjektif. [8]
·
Fenomenalisme
Dalam Fenomenalisme, tindakan mengetahui sesuatu diperoleh melalui
gejala-gejala yang menampakkan diri misalnya seorang mengetahui bahwa di dapur
ada sambel terasi dengan mencium aroma x yang muncul dari dapur, yang bagi si
Subjek, aroma ini menunjukkan (bermakna) sambel terasi. Objek fisik atau benda pada dirinya sendiri tak
dapat diketahui secara langsung. Dengan demikian, kesadaran dipahami
dari sudut pandang subjektif—makna subjektif terhadap realitas objek.
Fenomenalisme mempertahankan bahwa istilah dari suatu objek lebih merupakan
suatu konstruksi logis pikiran daripada sesuatu yang diberikan langsung di
dalam pengalaman. [9]
6. Idealisme dan Pandangannya tentang
Persepsi Indrawi
Idealisme
adalah sebuah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa yang nyata adalah
idea dan bukan materi. Aliran ini muncul pada abad ke-19 terutama di Jerman.
Idealisme merupakan suatu aliran gaya baru dalam metafisika dan memberi
penekanan khusus pada aspek rasio. Rasio di sini tidak dipahami sebagai ‘subjek
tertentu’, melainkan sebagai suatu ‘intelegensi yang mengatasi individu’ atau
‘Subjek Absolut’. Rasio dilihat sebagai sesuatu yang menguasai realitas sebagai
keseluruhan. Oleh karena itu, kenyataan dimengerti sebagai ‘perwujudan diri’
dari rasio atau Subjek Absolut tersebut.
Aliran
idealisme muncul sebagai reaksi atas pernyataan Kant mengenai adanya “das ding
an sich” di balik kenyataan yang dialami manusia. Menurut Kant, “das ding an
sich” ini tidak bisa diketahui oleh manusia. Para filsuf idealis seperti
Fichte, Schelling, dan Hegel memandang bahwa pernyataan Kant ini kurang tepat.
Menurut mereka, Kant telah jatuh ke dalam bahaya dogmatisme karena menerima
begitu saja “benda pada dirinya sendiri” sebagai yang ada dan menjadi penyebab
dari segala sesuatu.
Oleh
karena itu, aliran idealisme ingin meradikalkan pemikiran Kant tersebut. Para
filsuf idealis mencoret “das ding an sich” dan melihatnya sebagai suatu Rasio
Absolut atau Roh Absolut. Sementara itu, kenyataan adalah semata-mata produk
atau perwujudan dari Rasio tersebut.
Berangkat
dari pemahaman itu, kaum idealis, seperti Fichte, berpendapat bahwa kenyataan
indrawi, atau bisa disebut juga pengalaman indrawi, mendapatkan arti yang lebih
khusus yakni presentasi (Vorstellung). Fichte memberi contoh sebagai
berikut. Kita, misalnya, bisa membayangkan sebuah kereta emas, bepergian ke
Venesia atau apa saja dalam imajinasi kita, dan kemampuan inilah yang disebut
dengan presentasi yang disertai rasa kebebasan. Sementara itu, kalau
kita benar-benar berada di jalan-jalan air di Venesia, segala yang kita dengar
dan kita lihat ini tak tergantung dari subjek, maka ini disebut presentasi
yang disertai rasa keniscayaan.[10]
Fichte
kemudian mengabstraksi kedua hal ini lebih lanjut bahwa di dalam setiap
pengalaman aktual, selalu ada dua unsur yang saling jalin menjalin yakni subjek
dan objek. Ia kemudian meradikalkan subjek itu sebagai “intelegensi pada
dirinya” dan objek sebagai “benda pada dirinya sendiri”. Bagi Fichte, yang
menghasilkan sebuah pengalaman aktual adalah “intelegensi pada dirinya” atau
subjek.
Oleh
karena itu, bagi seorang idealis seperti Fichte, persepsi indrawi merupakan
suatu kegiatan yang berasal dari subjek. Objek indrawi lebih merupakan
perwujudan atau aktualisasi dari subjek. Subjeklah yang secara radikal
menentukan objek. Begitu pula menurut Schelling, Alam objektif adalah Roh yang
mengeksternalisasikan dirinya. Alam objektif kemudian dipandang sebagai “suatu
organisme” yang mengarah pada tujuan tertentu, yaitu kembali pada dirinya
sendiri. Hal ini tentu saja berarti kembali kepada Roh atau Rasio itu sendiri.[11]
7. Apa
yang dimaksud dengan W. Sellars tentang “the myth of the given”?
Wilfrid Sellars (1912-1989) adalah seorang
fondasionalis dalam aliran empirisme tetapi ia mengkritisi bahaya jatuhnya
empirisme ke dalam “Myth of the Given”. Dalam bukunya Empiricism and the
Philosophy of Mind, Sellars mempertahankan suatu bentuk empirisme tetapi
sekaligus mencegah adanya anggapan mengenai Mitos Pemberian itu. Apa yang
dimaksud Sellars dengan “Myth of the Given”?
Empirisisme
adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu harus
bersumber dari pengalaman (empeiria). Pengalaman, entah yang bersifat
indrawi atau batiniah, menjadi pokok refleksi utama. Ide-ide yang ada dalam
pikiran kita itu berasal dari pengalaman langsung akan sesuatu.
Dalam
konteks persepsi indrawi, Myth of the Given adalah anggapan yang
menyatakan bahwa pengalaman indrawi itu dapat secara langsung kita ketahui
tanpa adanya suatu pengetahuan atau konsep yang terasosiasi dengan pengalaman
itu. Pengalaman indrawi itu “terberi” begitu saja kepada subjek pengamat. Sebagai
contoh, bagaimana saya dapat berkata bahwa “ini berwarna merah”? Dalam kacamata
Myth of the Given, warna merah itu sudah terberi begitu saja dan kita
mengenalnya sebagai “warna merah”.
Sementara
itu, Sellars berpandangan lain. Menurutnya, untuk dapat mengatakan “ini
berwarna merah”, kita membutuhkan terlebih dahulu konsep mengenai “apa itu
merah”. Untuk dapat memiliki konsep “apa itu merah”, tentu saja hal itu
mengasumsikan bahwa kita mengetahui perbedaan warna merah dari warna-warna
lainnya, termasuk juga membedakan konsep warna dari konsep-konsep lain seperti
bentuk, ukuran, dan lain-lain.[12]
Dengan
kata lain, “ini berwarna merah” sebagai sebuah ekspresi akan pengalaman
observasional, memuat dua unsur. Pertama, “ini berwarna merah” merupakan tanda/symptom
akan kehadiran sebuah objek yang secara visual berwarna merah. Kedua, “ini
berwarna merah” juga merupakan tanda akan kehadiran konsep yang dimiliki oleh
si pengamat bahwa “ini berwarna merah” dan bukan berwarna hijau, kuning, hitam,
dan sebagainya.[13]
Dari
pemahaman Sellars ini, dapat dikatakan bahwa dalam sebuah persepsi indrawi, ada
kaitan erat antara subjek dan objek. Subjek tidak semata-mata pasif atau hanya
menerima begitu saja apa yang sudah “terberi” di dalam objek. Subjek pun
memiliki peranan untuk mengenali pengalaman itu. Dengan demikian, suatu
persepsi indrawi memuat adanya korelasi antara objek yang menampakkan dirinya
serta subjek yang menangkap objek tersebut dengan kerangka konsep tertentu.
8. Kesimpulan
Dari
seluruh uraian di atas ada beberapa simpulan yang dapat kami sampaikan.
Pertama, pengalaman perseptual itu merupakan suatu hal yang kompleks. Di
dalamnya tidak saja termuat hasil pengamatan indrawi, tetapi juga mencakup
konsep ataupun kerangka pikir yang ada dalam diri subjek.
Kedua, yang secara langsung kita sadari dalam
pengalaman perseptual adalah objek fisik dengan ciri-ciri indrawinya, dan bukan
gagasan kita tentangnya.
Ketiga, objektivitas suatu pengetahuan
mensyaratkan adanya korelasi antara objek fisik yang diamati dan subjek
pengamat. Dengan demikian, anggapan mengenai “Mitos terberi” itu kurang
tepat.

Daftar Pustaka
Audi, Robert., Epsitemology: A
Contemporary Introduction of the Theory of Knowledge, London: Routledge,
1998.
Hardiman, F. Budi., Filsafat Modern:
Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar:
Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Sumber internet
____.http://books.google.co.id/books?ei=Ay6xT6mZGYmqrAfs0vziAw&hl=id&id=reSyBgFvuIwC&dq=representasionalisme&ots=RfPKqOR2xG&q=representasionalisme#v=snippet&q=representasionalisme&f=false
(diunduh 14 Maret 2012, pukul 23.55 WIB).
(diunduh 11 Mei 2012, pukul 16.00 WIB).
____.http://sites.google.com/site/drtimthornton/courses/epistemology/sellars-and-the-myth-of-the-given
(diunduh 11 Mei 2012, pukul 16.30 WIB).
____. http://rumahfilsafat.com/2009/08/19/fenomenologi-edmund-husserl/
(diunduh 14 Maret 2012, pukul 23.50 WIB).
[1]
J. Sudarminta, Epistemologi
Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 72.
[3] Robert Audi., Epsitemology: A
Contemporary Introduction of the Theory of Knowledge, London: Routledge,
1998, p. 15.
[4] J. Sudarminta, Epistemologi
Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm.
77—79.
[6] Ibid. hlm 80—81
[8]
Bdk. ____ ,http://books.google.co.id/books?ei=Ay6xT6mZGYmqrAfs0vziAw&hl=id&id=reSyBgFvuIwC&dq=representasionalisme&ots=RfPKqOR2xG&q=representasionalisme#v=snippet&q=representasionalisme&f=false
(diunduh 14 Maret 2012, pukul 23.55 WIB).
[9] Bdk.____, http://rumahfilsafat.com/2009/08/19/fenomenologi-edmund-husserl/
(diunduh 14 Maret 2012, pukul 23.50 WIB).
[10]
Lih. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 160.
[12]Diambil dari http://www.philosophynow.org/issues/72/Wilfrid_Sellars_by_James_R_OShea (diunduh 11 Mei 2012).
[13]Disarikan dari http://sites.google.com/site/drtimthornton/courses/epistemology/sellars-and-the-myth-of-the-given (diunduh 11 Mei 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar