Kamis, 14 Maret 2013

Persepsi



Persepsi Indrawi: Peran dan Permasalahan

1. Pengantar
Dalam usaha memperoleh pengetahuan, manusia mempersepsikan sesuatu dengan menggunakan indra yang dimilikinya. Melalui makalah ini, kami ingin mencoba untuk mendalami lebih lanjut perihal persepsi indrawi ini. Beberapa pertanyaan dasar yang kami ajukan adalah sebagai berikut. Apa itu persepsi indrawi dan bagaimana perannya dalam kegiatan manusia mengetahui? Apa saja permasalahan yang dijumpai dalam proses persepsi indrawi? Apa itu realisme langsung? Apa itu realisme tak langsung? Apa itu idealisme dan bagaimana pandangannya tentang persepsi indrawi? Benarkah anggapan bahwa pengalaman indrawi merupakan semata-mata sesuatu yang “terberi”?

2. Pengalaman Indrawi
Dalam kegiatan manusia mengetahui, manusia membutuhkan bermacam-macam pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi sendiri dapat diartikan sebagai serangkaian akibat atau kesan-kesan pada subjek penahu yang penyebabnya dapat dirunut kembali ke kegiatan indra. Akan tetapi para filsuf menilai bahwa manusia tidak pernah mempunyai pengalaman indrawi murni, sebab pengalaman indrawi selalui terkait dengan akal. Maka, mereka lebih sering menggunakan istilah ”persepsi” untuk menggambarkan suatu pengindraan. Bagi mereka, istilah persepsi melibatkan lebih banyak dari sekadar apa yang mampu kita lihat dengan mata kita sebab dalam persepsi  terkandung juga suatu kesadaran akan apa yang dipersepsikan dan di dalamnya juga sudah termuat konseptualisasi[1].

            Ada tiga aspek pengalaman perseptual yang perlu dibedakan satu sama lain. Pertama, pengalaman perseptual yang secara aktual dihayati mengenai suatu objek fisik beserta ciri-cirinya. Kedua, persepsi sebagai tahap dalam pengalaman perseptual yang disumbangkan oleh indra sentral dan yang menyebabkan adanya kesatuan dalam satu objek dengan macam-macam kualitas indrawi yang disampaikan melalui indra penerima. Ketiga. Pengindraan sebagai tahap awal transmisi kausal informasi indrawi melalui macam-macam organ keindraan yang tidak secara langsung kita sadari[2].
            Kita juga perlu mengenal empat elemen dalam persepsi[3]: (1) Penerima sebagai subjek (2) Objek yang diamati (3) Pengalaman sensorik (4) Relasi antara objek dan subjek. Jadi jika ada sebuah pernyataan ”Saya melihat bulpen merah di bawah meja”, maka saya merupakan subjek penerima, bulpen adalah objeknya, pengalaman saya melihat warna dan bentuk objek merupakan sebuah pengalaman sensorik, dan  keadaan diriku yang mengarahkan diri kepada objek itu merupakan relasi yang memungkinkan adanya pengalaman perseptual tersebut.

3. Indra
            Dalam kajian epistemologi, jika kita berbicara mengenai indra manusia, ada dua kelompok indra yang diterima dan dipelajari. Kelompok pertama ialah indra luar (external senses) atau yang lebih kita kenal sebagai pancaindra (penglihatan, pendengaran, pencecap, pembau, dan peraba). Berdasarkan kelima indra inilah setiap manusia dapat berhubungan dengan dunia luarnya. Kelompok indra ini juga disebut sebagai indra khusus karena masing-masing indra memiliki organ penerimanya sendiri.
            Kelompok kedua adalah indra dalam (internal senses). Indra dalam adalah daya pengenalan suatu objek konkret secara material melalui kualitas-kualitas terindra yang dialami melalui indra-indra khusus. Indra-indra ini tidak memiliki organ penerima secara khusus tetapi berhubungan dengan bagian cortex otak manusia. Dalam mempelajari indra dalam, ada beberapa pendapat mengenai apa saja yang dapat disebut sebagai indra dalam. Perbedaan itu antara lain:
1.      Indra pusat atau indra pemadu. Indra ini memiliki daya untuk mempersepsi, membedakan, dan menggabungkan pengindraan menjadi suatu kesadaran meneluruh tentang objek yang dihadapi.
2.      Imajinasi adalah daya untuk menghadirkan kembali objek yang tidak hadir pada organ penerima. Melalui imajinasi, manusia bisa menggabung-gabungkan pengalaman indrawi menjadi suatu gambaran baru.
3.      Ingatan adalah daya untuk menghadirkan kembali objek-objek yang terjadi pada masa lalu secara indrawi tetapi tetap sebagai masa lalu.
4.      Daya estimatif adalah daya untuk mengenali, sebelum pembelajaran dan pemahaman, perilaku yang pas berhadapan dengan suatu objek indrawi. Melalui daya inilah terdapat perilaku instingtif manusia.

4. Mediasi dan Inferensi[4]
·         Mediasi
Secara harafiah, kata mediasi berarti keperantaraan. Kata ini berakar dari bahasa Latin, medium, yang berarti apa yang ada di tengah. Sedangkan dalam filsafat, mediasi berati apa yang menghubungkan dua hal. Lawan dari bermediasi adalah tanpa mediasi atau langsung. Para filsuf Skolastik membedakan mediasi menjadi tiga jenis, yaitu medium quod, medium quo, dan medium in quo.
·        Medium quod, sesuatu yang sendiri diketahui dan dalam mengetahui sesuatu itu sesuatu yang lain juga diketahui. Hal itu dapat dilihat pada premis-premis dalam silogisme—pengetahuan dalam premis-premis membawa pada kesimpulan. Contoh yang mudah ditangkap adalah dalam lampu lalu lintas. Dengan mengetahui bahwa lampu warna merah adalah berhenti, saya pun mengetahui bahwa saya harus menghentikan kendaraan.
·        Medium quo, sesuatu yang sendiri tidak disadari, tetapi melaluinya sesuatu yang lain diketahui. Contoh yang bisa menjelaskan adalah lensa kacamata yang dipakai. Melalui kacamata yang dipakai, benda-benda di sekitar dapat dilihat, namun kacamata itu sendiri tidak secara langsung disadari.
·        Medium in quo, sesuatu yang tidak disadari secara langsung dan yang dalamnya diketahui sesuatu yang lain. Contoh yang tepat untuk menjelaskannya adalah kaca spion mobil. Sang Sopir mampu melihat kendaraan ataupun hal-hal lain di belakangnya pada kaca spion yang tidak secara langsung disadari.
Dari ketiga jenis itu, hanyalah medium quod yang secara langsung kita sadari. Sedangkan dua jenis yang lain, medium quo dan medium in quo berfungsi dalam kegiatan kita mengetahui sesuatu, tetapi tanpa disadari secara langsung.

·         Inferensi
Inferensi atau penyimpulan merupakan proses penalaran dari apa yang sudah diketahui ke apa yang sampai sekarang belum diketahui—suatu gerak pemikiran dari premis-premis ke kesimpulan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa inferensi selalu ditarik secara sadar dan tidak terjadi secara otomatis. Terdapat tiga jenis inferensi, yaitu deduksi, induksi, dan abduksi.
·         Deduksi, adalah proses inferensi yang apabila premis-premisnya benar, kesimpulannya mesti benar. Kesimpulannya bersifat niscaya dalam hubungan dengan premis-premisnya. Contohnya adalah: semua mangga dalam karung itu adalah mangga jenis manalagi; mangga itu diambil dari karung itu; maka, mangga ini adalah mangga manalagi.
·         Induksi, adalah bentuk inferensi yang membentuk suatu hipotesis sedimikian rupa sehingga apabila hipotesis itu benar, maka premis-premis dari mana inferensi itu ditarik juga dengan sendirinya benar. Contohnya adalah: mangga itu diambil dari karung itu; mangga ini adalah mangga jenis manalagi; maka, barangkali semua mangga dalam karung itu adalah mangga jenis manalagi. Kesimpulannya bersifat niscaya.
·         Abduksi, adalah bentuk inferensi yang menguji hipotesis dengan menarik konsekuensi sebagai sebuah prediksi dan kemudian mengujinya dalam pengalaman. Contohnya adalah: semua mangga dalam karung itu adalah mangga jenis manalagi; mangga-mangga ini adalah jenis manalagi; maka, ada kemungkinan bahwa mangga-mangga ini diambil dari karung itu. Kesimpulannya bersifat niscaya.

5. Realisme Langsung dan Realisme Tak Langsung
Realisme adalah paham filsafat yang menerima fakta-fakta sebagaimana adanya tanpa idealisasi, spekulasi, atau idolasi. Dalam pandangan realisme, apa yang dialami dan disadari oleh manusia adalah benda atau objek fisik dengan kualitas indrawinya. Objek langsung ditangkap beserta dengan kualitas yang melekat pada objek itu. Realisme menangkap objek tertentu ini lepas dari proses fisk, fisiologis dan psikologis yang mungkin menjelaskan pengalaman indrawi tersebut.
Aliran ini masih dapat dibagi dua yaitu realisme langsung dan realisme tidak langsung. Realisme langsung berpandangan bahwa yang kita sadari secara langsung atau yang kita cerap secara indrawi dan kita ketahui adalah objek fisik itu sendiri dan bukan hanya gagasan atau representasi kita tentang objek tersebut. Sementara itu, realisme tak langsung berpandangan bahwa pengetahuan tentang suatu objek fisik hanya terjadi melalui representasi atau melalui gejala yang menampakkan diri kepada kita.

5.1. Realisme Langsung
Pengetahuan manusia juga berkenaan dengan peran indra dalam proses mengetahui. Dengan pencerapan melalui indra ini, manusia mampu menangkap objek di luar dirinya. Namun, perlu disadari, proses penangkapan objek ini merupakan medium in quo, medium yang digunakan untuk menangkap objek tidak secara langsung disadari. Realisme langsung yang dimengerti adalah realisme yang bermediasi. Dengan demikian, realisme langsung yang kita ikuti adalah realisme langsung yang bermediasi. Artinya, manusia menerima bahwa dalam memberikan penjelasan tentang apa yang dialami secara indrawi, diterima adanya rangkaian penyebaban, baik fisik, fisiologis maupun psikologis dari sisi intensionalitas subjek.
Namun, dalam memahami realisme ini kita perlu menyadari beberapa hal yang terkait. Realisme langsung masih dibagi menjadi dua, yaitu realisme naif dan realisme kritis.

a. Realisme Naif[5]
Realime naif berpandangan bahwa objek fisik bukan hanya mempunyai keberadaan sendiri lepas dari kegiatan pengindraan manusia tetapi adanya pada dirinya sendiri adalah persis sama dengan objek fisik yang secara langsung dialami secara indrawi pada saat dan tempat tertentu. Realisme naif menerima mentah-mentah pengalaman indrawi yang dialami.
Paham ini tidak memadai dan memiliki kelemahan sehingga tidak bisa digunakan begitu saja sebagai dasar pengetahuan manusia. Realisme naif mengabaikan perbedaan antara apa yang tampak pada si pengamat dan apa yang ada dalam kenyataan sesungguhnya. Kemungkinan terjadi ketidakcocokkan sangat besar dan hal ciri-ciri yang kita tangkap dengan indra dapat tidak melekat pada benda itu karena sangat tergantung pada subyek yang melihat.

b. Realisme Kritis[6]
Realisme ini merupakan kritik atas realisme naif. Realisme kritis tidak hanya menerima benda begitu saja tetapi mengakui adanya kualitas sekunder dari benda tersebut. Realisme kritis dapat dibagi menjadi dua, yaitu realisme kritis fomal dan realisme kritis virtual.
I. Realisme kritis formal berpendapat bahwa kualitas indrawi baik yang primer maupun yang sekunder, secara formal ada ”dalam” objek fisik yang dicirikan oleh kualitas tersebut. Realisme ini sedikit lebih maju dibanding dengan realisme naif. Pertama, paham ini tidak mengabaikan kemungkinan adanya ketidakcocokkan antara apa yang secara langsung tampak dan apa yang sesungguhnya ada pada objek itu sendiri. Kedua, realisme ini mampu memberi penjelasan tentang alasan ketidakcocokkan tersebut.
Namun, realisme ini masih memiliki kelemahan sehingga sulit untuk dijadikan dasar pengetahuan manusia. Pertama, realisme ini mengandaikan bahwa suatu kualitas indrawi dapat disebut objektif hanya jika ia harus terdapat dalam suatu objek fisik, persis sama dengan yang tampak sebagai ciri objek itu sebagaimana dialami. Dengan demikian, hal ini mempersempit kegiatan mengetahui hanya sebagai kegiatan memandang dan melaporkan saja. Subjek pengamat cenderung pasif dan objek lebih aktif menunjukkan dirinya. Kedua, objektivitas pengetahuan dipahami sebagai apa yang secara empiris ”terberi” sehingga mengurangi makna objektivitas yang mengandaikan adanya relasi antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati.

II. Realisme kritis virtual berpendapat bahwa sekurang-kurangnya kualitas sekunder (contohnya warna, bau, bunyi) dari sesuatu tidak secara formal “dalam” objek fisik yang dicirikan olehnya, tetapi secara virtual. Maksudnya, objek fisik itu memiliki daya dalam dirinya untuk menunjukkan kepada kita pengalaman akan kualitas sekunder tersebut.  pengamat.
            Jika dibandingkan dengan realisme kritis formal, realisme kritis virtual ini sudah lebih maju. Penganut realisme ini melihat bahwa tidak semua kualitas indrawi secara formal ada dalam objek fisik. Ada kualitas indrawi yang lebih banyak tergantung dari subjek pengamat.
Kelemahan realisme ini yaitu, pertama, adanya pembedaan kualitas primer dan kualitas sekunder. Kualitas primer dibedakan dari kualitas sekunder padahal kualitas primer dan kualitas sekunder merupakan dua hal yang saling terkait dan mendukung.  Kedua, objektivitas pengetahuan dipahami sebagai apa yang secara empiris terberi. Kegiatan mengetahui dipandang sebagai kegiatan memandang dan melaporkan secara objektif dan impersonal. Dimensi aktif dan konstruktif dari subjek diabaikan begitu saja. Padahal, objektivitas pengetahuan merupakan hasil jalinan antara subjek dan objek. Objektivitas suatu pengetahuan haruslah bersifat terbuka dan dapat diuji kebenarannya secara publik dan intersubjektif.

5.2. Realisme Tak Langsung[7]
Dalam realisme tak langsung, objek fisik sendiri tidak bisa diketahui secara langsung. Tetapi dapat diketahui melalui:
·         Representasionalisme (representasi tentang objek)
Dalam representasionalisme, ide-ide tentang suatu benda dalam benak menampilkan kriteria primer benda tersebut. Ide-ide tersebut juga merupakan data subjektif. Beberapa tokoh yang ada dalam aliran pemikiran ini adalah Locke, Descartes, Galileo, Hobbes, dan Newton. Salah satu contohnya adalah menggambarkan sebuah bola sepak, digukaan penjelasan dalam bahasa, seperti ide-ide bahwa bentuknya bulat, permukaannya licin, dll (mengandaikan punya pengalaman atas hal itu). Namun, pandangan ini mengesampingkan sebuah masalah, yaitu bagaimana kita bisa tahu sifat-sifat penyebab dari benda-benda tersebut jika kita tidak tahu benda-bendanya hanya ide saja (kritik Berkeley)—kenyataan objektif direduksi kepada kumpulan dan gerakan dari benda-benda berkeluasan dan segalanya yang lain yang bersifat subjektif. [8]

·         Fenomenalisme
Dalam Fenomenalisme, tindakan mengetahui sesuatu diperoleh melalui gejala-gejala yang menampakkan diri misalnya seorang mengetahui bahwa di dapur ada sambel terasi dengan mencium aroma x yang muncul dari dapur, yang bagi si Subjek, aroma ini menunjukkan (bermakna) sambel terasi. Objek fisik atau benda pada dirinya sendiri tak dapat diketahui secara langsung. Dengan demikian, kesadaran dipahami dari sudut pandang subjektif—makna subjektif terhadap realitas objek. Fenomenalisme mempertahankan bahwa istilah dari suatu objek lebih merupakan suatu konstruksi logis pikiran daripada sesuatu yang diberikan langsung di dalam pengalaman. [9]

6. Idealisme dan Pandangannya tentang Persepsi Indrawi
            Idealisme adalah sebuah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa yang nyata adalah idea dan bukan materi. Aliran ini muncul pada abad ke-19 terutama di Jerman. Idealisme merupakan suatu aliran gaya baru dalam metafisika dan memberi penekanan khusus pada aspek rasio. Rasio di sini tidak dipahami sebagai ‘subjek tertentu’, melainkan sebagai suatu ‘intelegensi yang mengatasi individu’ atau ‘Subjek Absolut’. Rasio dilihat sebagai sesuatu yang menguasai realitas sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, kenyataan dimengerti sebagai ‘perwujudan diri’ dari rasio atau Subjek Absolut tersebut.
            Aliran idealisme muncul sebagai reaksi atas pernyataan Kant mengenai adanya “das ding an sich” di balik kenyataan yang dialami manusia. Menurut Kant, “das ding an sich” ini tidak bisa diketahui oleh manusia. Para filsuf idealis seperti Fichte, Schelling, dan Hegel memandang bahwa pernyataan Kant ini kurang tepat. Menurut mereka, Kant telah jatuh ke dalam bahaya dogmatisme karena menerima begitu saja “benda pada dirinya sendiri” sebagai yang ada dan menjadi penyebab dari segala sesuatu.
            Oleh karena itu, aliran idealisme ingin meradikalkan pemikiran Kant tersebut. Para filsuf idealis mencoret “das ding an sich” dan melihatnya sebagai suatu Rasio Absolut atau Roh Absolut. Sementara itu, kenyataan adalah semata-mata produk atau perwujudan dari Rasio tersebut.
            Berangkat dari pemahaman itu, kaum idealis, seperti Fichte, berpendapat bahwa kenyataan indrawi, atau bisa disebut juga pengalaman indrawi, mendapatkan arti yang lebih khusus yakni presentasi (Vorstellung). Fichte memberi contoh sebagai berikut. Kita, misalnya, bisa membayangkan sebuah kereta emas, bepergian ke Venesia atau apa saja dalam imajinasi kita, dan kemampuan inilah yang disebut dengan presentasi yang disertai rasa kebebasan. Sementara itu, kalau kita benar-benar berada di jalan-jalan air di Venesia, segala yang kita dengar dan kita lihat ini tak tergantung dari subjek, maka ini disebut presentasi yang disertai rasa keniscayaan.[10]
            Fichte kemudian mengabstraksi kedua hal ini lebih lanjut bahwa di dalam setiap pengalaman aktual, selalu ada dua unsur yang saling jalin menjalin yakni subjek dan objek. Ia kemudian meradikalkan subjek itu sebagai “intelegensi pada dirinya” dan objek sebagai “benda pada dirinya sendiri”. Bagi Fichte, yang menghasilkan sebuah pengalaman aktual adalah “intelegensi pada dirinya” atau subjek.
            Oleh karena itu, bagi seorang idealis seperti Fichte, persepsi indrawi merupakan suatu kegiatan yang berasal dari subjek. Objek indrawi lebih merupakan perwujudan atau aktualisasi dari subjek. Subjeklah yang secara radikal menentukan objek. Begitu pula menurut Schelling, Alam objektif adalah Roh yang mengeksternalisasikan dirinya. Alam objektif kemudian dipandang sebagai “suatu organisme” yang mengarah pada tujuan tertentu, yaitu kembali pada dirinya sendiri. Hal ini tentu saja berarti kembali kepada Roh atau Rasio itu sendiri.[11]

7. Apa  yang dimaksud dengan W. Sellars tentang “the myth of the given”?
            Wilfrid Sellars (1912-1989) adalah seorang fondasionalis dalam aliran empirisme tetapi ia mengkritisi bahaya jatuhnya empirisme ke dalam “Myth of the Given”. Dalam bukunya Empiricism and the Philosophy of Mind, Sellars mempertahankan suatu bentuk empirisme tetapi sekaligus mencegah adanya anggapan mengenai Mitos Pemberian itu. Apa yang dimaksud Sellars dengan “Myth of the Given”?
            Empirisisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu harus bersumber dari pengalaman (empeiria). Pengalaman, entah yang bersifat indrawi atau batiniah, menjadi pokok refleksi utama. Ide-ide yang ada dalam pikiran kita itu berasal dari pengalaman langsung akan sesuatu.
            Dalam konteks persepsi indrawi, Myth of the Given adalah anggapan yang menyatakan bahwa pengalaman indrawi itu dapat secara langsung kita ketahui tanpa adanya suatu pengetahuan atau konsep yang terasosiasi dengan pengalaman itu. Pengalaman indrawi itu “terberi” begitu saja kepada subjek pengamat. Sebagai contoh, bagaimana saya dapat berkata bahwa “ini berwarna merah”? Dalam kacamata Myth of the Given, warna merah itu sudah terberi begitu saja dan kita mengenalnya sebagai “warna merah”.
            Sementara itu, Sellars berpandangan lain. Menurutnya, untuk dapat mengatakan “ini berwarna merah”, kita membutuhkan terlebih dahulu konsep mengenai “apa itu merah”. Untuk dapat memiliki konsep “apa itu merah”, tentu saja hal itu mengasumsikan bahwa kita mengetahui perbedaan warna merah dari warna-warna lainnya, termasuk juga membedakan konsep warna dari konsep-konsep lain seperti bentuk, ukuran, dan lain-lain.[12]
            Dengan kata lain, “ini berwarna merah” sebagai sebuah ekspresi akan pengalaman observasional, memuat dua unsur. Pertama, “ini berwarna merah” merupakan tanda/symptom akan kehadiran sebuah objek yang secara visual berwarna merah. Kedua, “ini berwarna merah” juga merupakan tanda akan kehadiran konsep yang dimiliki oleh si pengamat bahwa “ini berwarna merah” dan bukan berwarna hijau, kuning, hitam, dan sebagainya.[13]
            Dari pemahaman Sellars ini, dapat dikatakan bahwa dalam sebuah persepsi indrawi, ada kaitan erat antara subjek dan objek. Subjek tidak semata-mata pasif atau hanya menerima begitu saja apa yang sudah “terberi” di dalam objek. Subjek pun memiliki peranan untuk mengenali pengalaman itu. Dengan demikian, suatu persepsi indrawi memuat adanya korelasi antara objek yang menampakkan dirinya serta subjek yang menangkap objek tersebut dengan kerangka konsep tertentu.


8. Kesimpulan
            Dari seluruh uraian di atas ada beberapa simpulan yang dapat kami sampaikan. Pertama, pengalaman perseptual itu merupakan suatu hal yang kompleks. Di dalamnya tidak saja termuat hasil pengamatan indrawi, tetapi juga mencakup konsep ataupun kerangka pikir yang ada dalam diri subjek.
Kedua, yang secara langsung kita sadari dalam pengalaman perseptual adalah objek fisik dengan ciri-ciri indrawinya, dan bukan gagasan kita tentangnya.
Ketiga, objektivitas suatu pengetahuan mensyaratkan adanya korelasi antara objek fisik yang diamati dan subjek pengamat. Dengan demikian, anggapan mengenai “Mitos terberi” itu kurang tepat. 



 

Daftar Pustaka
Audi, Robert., Epsitemology: A Contemporary Introduction of the Theory of Knowledge, London: Routledge, 1998.

Hardiman, F. Budi., Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002.


Sumber internet

      (diunduh 11 Mei 2012, pukul 16.00 WIB).


____. http://rumahfilsafat.com/2009/08/19/fenomenologi-edmund-husserl/ (diunduh 14 Maret 2012, pukul 23.50 WIB).
                                                                                                                     


[1] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 72.
[2] Ibid, hlm. 73.
[3] Robert Audi., Epsitemology: A Contemporary Introduction of the Theory of Knowledge, London: Routledge, 1998, p. 15.
[4] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 77—79.
[5] Ibid. hlm 80
[6] Ibid. hlm 80—81
[7] Ibid. Hlm. 80.
[9] Bdk.____, http://rumahfilsafat.com/2009/08/19/fenomenologi-edmund-husserl/ (diunduh 14 Maret 2012, pukul 23.50 WIB).
[10] Lih. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 160.
[11] Lih. Ibid., hlm. 169.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar